TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyoroti meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis selama peliputan aksi penolakan rancangan Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Menurut AJI, kasus-kasus tersebut mencerminkan praktik impunitas aparat dan upaya sistematis untuk menakut-nakuti pers sebagai salah satu pilar demokrasi yang tersisa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sepanjang aksi menolak UU TNI, kami mencatat setidaknya 18 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Bentuknya beragam, dari penganiayaan, perampasan alat kerja, hingga doxing,” kata anggota AJI Adil Al Hasan dalam konferensi pers bersama Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) bertajuk Launching Pusat Data Kekerasan Nasional Aksi Tolak RUU TNI di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Kamis, 10 April 2025.
Adil menyebut serangan itu tidak berdiri sendiri. Ia menilai kekerasan terhadap pers menjadi bagian dari konsolidasi kekuasaan yang dijalankan pemerintahan Prabowo Subianto.
“Prabowo sebagai mantan jenderal Kopassus punya keinginan bahwa anak buahnya di kementerian dan lembaga tidak boleh rewel. Yang dimaksud tentu Polri dan TNI, karena mereka dididik untuk taat pada komando,” ujarnya.
Ia menambahkan dalam kondisi tidak adanya oposisi di DPR, kini media menjadi satu-satunya kekuatan sipil yang masih bisa menjalankan fungsi kontrol. Namun, justru posisi itu kini digoyang lewat kekerasan dan upaya delegitimasi di ruang digital.
“Di media sosial, mulai banyak narasi yang menyebut karya jurnalistik sebagai berita bohong, antek asing, bahkan dianggap alat propaganda. Ini mengancam fungsi pers dan menggesernya dengan buzzer. Kalau dibiarkan, publik akan kehilangan akses terhadap informasi yang benar,” ujar Adil.
AJI menilai pengabaian terhadap kekerasan terhadap jurnalis menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan dominasi impunitas aparat. Dalam berbagai kasus demonstrasi di Indonesia, Adil mengatakan Polri yang melakukan kekerasan seharusnya dipidana. Namun, karena nihilnya penegakan hukum, aparat yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat dianggap lazim. “Tak ada penegakan hukum, mereka (aparat) merasa dilindungi oleh kekuasaan,” kata Adil.
Lebih jauh, Adil mengingatkan masyarakat sipil untuk mewaspadai langkah konsolidasi kekuasaan berikutnya, termasuk lewat pembahasan RUU Penyiaran dan RUU Polri yang kini sudah ‘parkir’ di DPR.
“RUU-RUU itu adalah instrumen lanjutan untuk memperkuat politik komando. Kalau kita diam, kebebasan pers akan hilang, dwifungsi terbilang,” ujarnya.