Warga Tegaskan Penolakan Rempang Eco City Bukan Soal Masalah Ganti Rugi

1 day ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Warga Pulau Rempang membantah pernyataan Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara soal alasan warga menolak proyek Rempang Eco City hingga program transmigrasi. Adapun Iftitah mengatakan faktor identitas dan budaya bukan satu-satunya, tetapi ada alasan pembayaran uang ganti rugi yang tidak sesuai.

Warga Rempang sekaligus Pengurus Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB) Miswadi menyebut ada yang salah dari persepsi Iftitah. "Pak Menteri salah menilai orang Melayu," katanya, Kamis, 17 April 2025.

Miswadi menuturkan, warga Rempang tidak membutuhkan uang kompensasi maupun ganti rugi. Warga Rempang bersepakat mempertahankan tanah warisan nenek moyang yang sudah dihuni sejak ratusan tahun lain. Warga, kata dia, menyatakan identitas, ruang hidup, dan hubungan spiritual dengan tanah mereka tidak bisa dinilai dengan materi. "Materi bukan uang, tapi ruang hidup kami. Identitas, budaya itu yang sesungguhnya kami perjuangkan," Miswadi. "Selama ini kami tidak pernah mau nego (soal ganti rugi)."

Sejak proyek pengembangan Rempang Eco City ditetapkan menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) di era RI Joko Widodo, masyarakat Pulau Rempang menyatakan penolakan terhadap penggusuran maupun pergeseran. Penolakan ini kemudian dilanjutkan ketika Menteri Iftitah menawarkan program transmigrasi lokal sebagai jalan keluar. Penolakan warga terhadap Rempang Eco City maupun transmigrasi lokal telah disampaikan langsung saat Iftitah datang ke Rempang pada 29 hingga 31 Maret lalu. Bentuk penolakan itu di antaranya disampaikan melalui spanduk yang dibentangkan saat acara dialog.

Sani Rio, seorang warga Kampung Pasir Panjang, menuturkan warga Pulau Rempang tidak ingin dipindah dari lahan tempat tinggalnya karena mereka sudah hidup di Pulauu Rempang sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Salah satu buktinya, ia memiliki nenek berusia 105 tahun. Karena itu, alih-alih transmigrasi, warga membutuhkan pengakuan atas kepemilikan lahan tempat tinggal mereka. “Kami ingin legalitas,” kata Rio dalam forum dialog dengan Iftitah pada Ahad, 30 Maret 2025. “Kalau ada warga masuk, silakan. Bukan kami yang harus digeser.”

Hal yang sama juga disampaikan Ishak—seorang warga Rempang lainnya—saat audiensi di Kampung Pasir Merah pada Sabtu, 29 Maret 2025. “Kami ingin meminta legalitas kampung tua yang ada di Rempang,” kata Ishak. Senada dengan Rio, ia menyebut kampung-kampung tua di Pulau Rempang sudah eksis sejak sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri.

Ishak juga menyampaikan bahwa warga Rempang tidak menolak adanya pembangunan. Namun dengan catatan, pembangunan tersebut bukan pembangunan yang merusak ruang lingkungan hidup masyarakat.

Sebelumnya, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia Alissa Wahid meminta pemerintah mengakomodasi keinginan masyarakat. Alissa menyampaikan, setiap kebijakan pemerintah seharusnya melibatkan warga setempat. Bila pemerintah mau bermusyawarah dengan baik, ia meyakini persoalan bisa diselesaikan dengan baik pula. "Kalau warga tidak menginginkan wilayahnya menjadi PSN (proyek strategis nasional), maka pemerintah harus mendengar aspirasi ini," kata Alissa dalam diskusi Kebijakan di Tanah Rempang untuk Siapa?, dikutip Tempo dari kanal YouTube Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik, Jumat, 28 Maret 2025.

Direktur Next Policy Yusuf Wibisono juga berpendapat bahwa transmigrasi lokal bagi warga terdampak Rempang Eco City sama dengan relokasi yang dipaksaan. Yusuf berharap pemerintah membatalkan rencana penggusuran warga Rempang dengan istilah apapun, termasuk istilah transmigrasi lokal. "Bila benar-benar ingin menghapus kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, seharusnya pemerintah menghormati dan melindungi hak warga Rempang atas tanahnya,” kata Yusuf.

Iftitah telah berjanji tidak akan menggusur dan memaksa warga Rempang ikut transmigrasi lokal. Namun, ia berujar, pemerintah akan melakukan penataan Rempang. Ia memastikan proses ini melalui tahap peninjauan komprehensif. Terlebih, menurut dia, ada banyak klaim sepihak dalam konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang.

Iftitah mengakui keberadaan warga asli yang telah menghuni Pulau Rempang sejak ratusan tahun lalu. Ia juga sepakat kampung-kampung tua itu harus dilindungi. “Dengan alasan budaya, alasan sejarah, saya sepakat,” ucap Iftitah.

Namun, menurut dia, ada masyarakat yang secara sporadis kemudian datang dan menghuni Pulau Rempang. Fenomena ini, ujar Iftitah, terjadi ketika akses ke Pulau Rempang semakin mudah usai adanya pembangunan Jembatan Batam-Rempang-Galang (Barelang). “Mereka menguasai lahan-lahan BP Batam. Itu yang harus dipisahkan,” tutur Iftitah. “Kalaupun ada investor masuk, ada rumah-rumah di tengah-tengah (kawasan investasi yang dibangun) kan tidak mungkin.”

Pilihan editor: Profil Dua Bos Lippo Group yang akan Dipanggil Maruarar Sirait Bahas Meikarta

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |