Mengapa Representasi Perempuan di Parlemen Dianggap Penting?

10 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan menyoroti keterwakilan perempuan di DPR yang tidak kunjung mencapai target kuota gender 30 persen. Koalisi menyinggung data Westminster Foundation for Democracy (WFD) yang menunjukkan tren “domestikasi perempuan” dalam politik. Istilah itu merujuk pada kondisi perempuan yang kerap ditempatkan oleh partai politik di alat kelengkapan seperti komisi dan badan yang mengurusi isu-isu perempuan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebanyak 56 persen atau 56 dari 126 anggota legislatif perempuan di DPR RI periode 2019–2024 ditempatkan di Komisi VIII, IX, dan X. Ketiga komisi tersebut masing-masing mengurusi bidang perempuan, anak, dan keagamaan; kesehatan dan ketenagakerjaan; serta pendidikan, budaya, dan kepemudaan.

Kemudian pada periode 2024–2029, hal yang sama terjadi kembali. Sebesar 47 persen atau 60 dari 129 anggota legislatif perempuan ditumpuk di tiga komisi tersebut ditambah Komisi VII yang kini menaungi urusan ekonomi kreatif dan UMKM.

Koalisi mencatat domestikasi ini juga terjadi di tingkat pimpinan DPR. Pada periode 2019–2024, perempuan menduduki 15 persen atau 8 dari 55 kursi pimpinan komisi. Namun, sekitar 75 persen atau 6 dari 8 perempuan tersebut didapuk sebagai pimpinan di Komisi VIII, IX, dan X. 

Pada periode 2024–2029, dengan jumlah komisi yang kini bertambah menjadi tiga belas, perempuan menduduki 22 persen atau 14 dari 65 kursi pimpinan. Namun, sebanyak 65 persen atau 9 dari 14 perempuan ditempatkan di Komisi VII, VIII, IX, dan X. Koalisi menilai ironis bahwa di periode ini, tidak ada perempuan yang menduduki jajaran pimpinan Komisi VIII yang mengurusi isu agama, perempuan, sosial, dan anak.

Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Delia Wildianti berpendapat, kehadiran perempuan di parlemen bisa memberikan perbedaan. Delia menyebut bahwa ketika perempuan hadir secara fisik sebagai perwakilan rakyat, maka ia bisa menjadi representasi dari kelompok gendernya. 

“Kalau bicara soal kenapa perempuan perlu hadir, sebetulnya karena ada gagasan atau suara yang bisa mewarnai di parlemen itu sendiri dengan karakteristik dan pengalaman yang pernah dialami oleh perempuan,” ujar Delia melalui sambungan telepon pada Sabtu malam, 26 April 2025.

Delia mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki pengalamannya masing-masing. Ada kebutuhan-kebutuhan yang dialami maupun dirasakan oleh perempuan, dan bisa diperjuangkan oleh perempuan juga. Meski banyak pula laki-laki yang sudah menyuarakan kepentingan perempuan, Delia menilai kehadiran perempuan di parlemen akan lebih mewakili suara perempuan secara substantif. “Sehingga nantinya diharapkan bisa memberikan perbedaan perspektif, warna, pengalaman di dalam perumusan kebijakan gitu di parlemen,” kata dia.

Delia menjelaskan, minimnya keterwakilan perempuan disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya ialah adanya tantangan kultural. “Misalnya, perempuan ketika mau maju saja, itu tantangan domestiknya berat. Ada soal izin dari suami, izin dari keluarga dan seterusnya,” kata dia.

Selain itu, ada pula tantangan struktural. Delia menyebut bahwa kontestasi pemilihan umum berbiaya mahal. Menurut dia, hal ini menjadi tantangan bagi perempuan yang memiliki basis massa besar namun tak memiliki modal ekonomi.

Delia mengakui bahwa Indonesia memang sudah memiliki aturan khusus mengenai kuota gender sebesar 30 persen untuk mendorong kesempatan yang sama bagi semua perempuan. Namun, ujar dia, kebijakan itu malah dimanfaatkan bagi partai politik untuk hanya mendorong orang-orang di lingkaran mereka sendiri. “Akhirnya yang muncul kemudian adalah fakta bahwa, yang hadir misalnya representasi perempuan ya, perempuan yang datang dari kelompok-kelompok yang memiliki keterabatan dengan elit politik dan dinasti politik,” tutur Delia.

Biaya politik yang mahal ini dianggapnya menghambat partisipasi perempuan di ranah politik. Delia menilai harus ada dukungan sistemik dari partai politik bagi perempuan calon yang potensial.

Kemudian menurut Delia, hal lain yang menyebabkan rendahnya partisipasi perempuan di parlemen ialah kekerasan yang dihadapi perempuan. Menurut Delia, perempuan calon anggota legislatif rentan mengalami kekerasan, baik secara verbal maupun fisik. “Dianggapnya karena politik kita maskulin, ketika perempuan masuk ke dalam ranah politik ya kekerasan itu sudah jadi risiko gitu,” ujar dia. Hal ini, Delia melanjutkan, menghambat perempuan untuk terjun ke ruang-ruang politik yang dinilai dapat mengekspos mereka ke kerentanan akan kekerasan.

Delia pun mengatakan bahwa perlu ada penguatan regulasi agar keterwakilan perempuan di parlemen terpenuhi. Ia mendesak DPR dan pemerintah untuk segera membahas Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu). Salah satu poin yang perlu direvisi, ujar dia, ialah undang-undang tersebut perlu mempertegas sanksi bagi partai politik yang tidak mencapai kuota keterwakilan perempuan. Nantinya, aturan-aturan turunan dari UU Pemilu juga harus linear atau sejalan. 

Selain itu, Delia menyatakan jaminan perlindungan bagi perempuan calon anggota legislatif juga perlu diatur. “Misalnya mekanisme pelaporan ketika perempuan-perempuan caleg itu mendapatkan kekerasan, baik itu fisik misalnya atau kekerasan seksual. Kita memang sudah punya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, tapi itu perlu diakomodir dalam proses pemilu,” kata Delia.

Delia berpendapat kebijakan yang mengatur keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia masih terlalu sedikit. "Mungkin bukan aturan yang diskriminatif, tapi justru belum diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Makanya kami mau coba untuk mendorong aturan tersebut," ujar dia.

Adapun ia menyebut bahwa negara lain sudah lebih jauh memperkuat kuota keterwakilan perempuan. “Ada aturan lebih seimbang, misalnya ada yang keterwakilan minimal 40 persen. Artinya, salah satu gender tidak boleh lebih dari 60 persen,” katanya.

Kemudian, ada pula kebijakan afirmasi berupa reserved seat atau pemberian sejumlah kuota pasti bagi perempuan di parlemen. Kuota ini secara khusus dialokasikan untuk perwakilan bergender perempuan dan dinilai bisa menjamin perempuan menduduki kursi parlemen.

Lebih jauh, Delia mengatakan di beberapa negara, reformasi keuangan partai politik telah dilakukan untuk mengatasi ketidakadilan gender. Menurut dia, sudah ada negara-negara yang menerapkan skema insentif dan disinsentif guna mendorong partai politik mematuhi aturan keterwakilan perempuan.

“Itu banyak negara-negara yang udah mengimplementasikan ke situ. Sementara Indonesia belum ke sana, kita masih bermain di aturan afirmatif yang awal, yaitu lewat kuota pencalonan perempuan minimal 30 persen,” ujar Delia.

Adapun Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mikewati Vera Tangka  sebelumnya juga menilai keterwakilan perempuan dalam politik sebagai hal yang penting. Pencapaian keterwakilan ini, kata Mikewati, bisa dilakukan melalui upaya reformasi kebijakan yang dapat menciptakan ruang aman dan kesempatan setara bagi perempuan di politik. Salah satu rekomendasi dari Koalisi ialah pembentuk undang-undang harus memastikan pemilihan umum atau pemilu yang inklusif melalui penguatan regulasi afirmatif bagi perempuan. 

“Hal ini dapat dicapai dengan persyaratan kehadiran representasi minimal 30 persen perempuan sebagai peserta pemilu, penyelenggara pemilu, maupun dalam tim seleksi,” ujar Mikewati melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 25 April 2025. Tak hanya itu, ia juga menekankan perlunya perhatian khusus bagi keterwakilan penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya. 

“Kami juga menekankan urgensi dukungan partai politik untuk melakukan pendidikan dan kaderisasi terhadap para perempuan yang akan berkontestasi dalam pemilu,” kata Mikewati. Dukungan tersebut, ia melanjutkan, dapat diperkuat melalui kebijakan pengalokasian minimal 30 persen dana negara yang diterima partai politik untuk kaderisasi dan rekrutmen perempuan politik oleh partai.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |