Kilas Balik Yogyakarta dan Aceh Jadi Daerah Istimewa serta Daerah Khusus Jakarta

11 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia turut merespons wacana Kota Surakarta atau Solo yang diusulkan menjadi salah satu daerah istimewa di Indonesia. Doli menyatakan tidak pernah ada pemberian status tersebut bagi suatu wilayah di Indonesia yang levelnya di bawah tingkat provinsi.

“Tidak pernah ada pemberian istimewa itu di level di bawah provinsi,” kata Doli di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 25 April 2025. “Tidak pernah ada istilah khusus istimewa di tingkat kabupaten/kota, adanya di provinsi.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politikus Partai Golkar ini memaparkan hanya ada beberapa daerah di Indonesia yang menyandang status kekhususan hingga keistimewaan. Misalnya, Daerah Khusus Ibu Kota atau DKI Jakarta yang kini telah berubah menjadi Daerah Khusus Jakarta atau DKJ. DKI Jakarta jadi DKJ seiring pemindahan pusat pemerintahan ke Ibu Kota Nusantara atau IKN.

“Kekhususan (Jakarta) itu tetap dipakai karena dia punya sejarah pernah jadi ibu kota yang cukup lama. Itu kemarin kami sepakati kenapa tetap pakai kata khusus, tapi tidak pakai ibu kota karena ibu kotanya sudah dipakai Nusantara,” ujarnya.

Doli juga menyebut ada pula Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menyandang status istimewa karena latar belakang sejarah, yakni pernah menjadi ibu kota negara pada 1946. Bahkan, jauh sebelum reformasi, Aceh juga pernah menyandang status sebagai daerah istimewa karena faktor historis.

“Karena masyarakat Aceh waktu itu pernah kumpulkan uang untuk bantu pemerintah beli pesawat, namanya pesawat Seulawah. Makanya waktu itu pertimbangan Aceh jadi daerah istimewa, walaupun sekarang (status) istimewanya sudah hilang ya, enggak ada lagi,” tuturnya.

Lantas seperti apa sejarah Jakarta, Yogyakarta, hingga Aceh menjadi daerah istimewa maupun khusus?

Kilas Balik Jakarta Jadi Daerah Khusus

Sekarang, Jakarta tidak lagi berstatus sebagai ibu kota negara setelah DPR RI menyetujui Rancangan Undang-undang Daerah Khusus Jakarta atau RUU DKJ pada 28 Maret 2024 lalu. Perubahan ini merupakan konsekuensi dari UU Nomor 21 Tahun 2023 yang mengubah UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.

Status Jakarta sebagai DKI disebut telah berakhir per 15 Februari 2024. Klaim ini disampaikan oleh Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Supratman Andi Agtas. Keputusan tersebut, kata Andi, buntut dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara atau UU IKN.

“RUU DKI itu dia kehilangan statusnya tanggal 15 Februari kemarin. Kan, itu implikasi dari Undang-undang IKN. Iya dua tahun setelah. Nah, itu kan berakhir 15 Februari,” kata Supratman di Kompleks DPR, kawasan Senayan, Jakarta, Selasa, 5 Maret 2024.

Sementara itu, ibu kota negara baru diusulkan untuk dipindahkan ke Kota Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Namun demikian, walaupun RUU DKJ telah disetujui, Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi masih perlu menerbitkan keputusan presiden (Keppres) untuk meresmikan perpindahan tersebut.

Tetapi, hingga penghujung jabatannya, Keppres tersebut tak kunjung terbit. Jokowi kemudian mengatakan, menyerahkan Keppres pemindahan ibu kota negara tersebut kepada presiden berikutnya yakni Prabowo Subianto. Prabowo pun menargetkan berkantor di IKN pada 17 Agustus 2028, kata Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo di Jakarta, Jumat, 6 Desember 2024.

“Targetnya Pak Prabowo itu 17 Agustus 2028 itu sudah berkantor di sana, selambatnya pada 17 Agustus 2029, eksekutif, legislatif, sama yudikatif beserta seluruh ASN penunjangnya,” ujar Dody seperti dikutip Antara, Jumat, 25 April 2025.

Sejarah Yogyakarta Jadi Daerah Istimewa

Yogyakarta ditetapkan Presiden Pertama RI Sukarno sebagai daerah istimewa karena peran Kesultanan Yogyakarta yang luar biasa besar dalam mendukung Republik. Setidaknya ada 250 bukti sejarah bahwa Yogyakarta berjuang sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Kala itu, saat Indonesia memperjuangkan kemerdekaan, di Yogyakarta ada dua kesultanan, yakni Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Daerah Pakualam pimpinan Sri Paku Alam VIII. Setelah proklamasi, kedua wilayah ini menyatakan menjadi bagian wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.

Pemerintah lalu mengeluarkan amanat yang menyatakan, bahwa wilayah Pakualam dan wilayah Kesultanan Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa. Yogyakarta, sebagai daerah istimewa yang dipimpin secara turun-temurun, kemudian memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri.

Dalam format keistimewaan secara eksekutif, Gubernur DI Yogyakarta tidak dipilih lewat pemilihan umum, melainkan berasal dari Kesultanan Yogyakarta. Sultan sebagai raja sekaligus gubernur. Lantaran melekat, jabatan gubernur tersebut langsung ditetapkan atau diangkat, bukan melalui pemilihan.

Sejarah Aceh Jadi Daerah Istimewa dan Kemudian Jadi Daerah Khusus

Aceh pernah menjadi daerah istimewa sebelum diubah menjadi daerah khusus. Dilansir dari Acehprov.go.id, daerah ini memperoleh daerah istimewa guna menjaga stabilitas nasional demi persatuan dan kesatuan bangsa, melalui misi Perdana Menteri Hardi yang dikenal dengan nama MISSI HARDI 1959.

Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan. Status ini dikukuhkan dengan Undang-undang atau UU Nomor 18 Tahun 1965 dan diperbaharui melalui UU Nomor 44 Tahun 1999.

Namun, berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintah pada masa lalu yang menitikberatkan pada sistem yang terpusat dipandang sebagai sumber munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kondisi ini memunculkan pergolakan. Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan pemberian Otonomi Khusus dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Kini, Aceh menyandang status menjadi daerah khusus. Adapun istilah daerah khusus lantaran mendapat perlakuan istimewa berdasarkan faktor situasional di daerah tersebut. Aceh menjadi daerah khusus karena faktor agama dengan penerapan hukum syariah Islam.

Dian Rahma Fika, Gerin Rio Pranata, Andita Rahma, Dewi Nurita, Angelina Tiara Puspitalova, dan Sukma Kanthi Nurani berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |