Belajar Sejarah Masa Kolonial di Museum Multatuli Rangkasbitung

16 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Jika berkunjung ke Rangkasbitung, Lebak, jangan lupa singgah ke Museum Multatuli di Jalan Alun-alun Timur, tepat di sebelah Perpustakaan Saidjah Adinda. Di museum ini, pengunjung akan diajak kembali ke masa kolonial, mulai dari kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara, penerapan sistem tanam paksa, hingga sejarah Lebak dan Banten.

Museum ini menempati bangunan tua bekas kantor Kawedanan Lebak yang didirikan pada 1923. Sebelum menjadi museum, bangunan ini pernah difungsikan sebagai kantor hansip dan kantor Badan Kepegawaian Daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siti Nurhasalah, Staf Tenaga Ahli Edukator Museum Multatuli, mengatakan bahwa bangunan ini dijadikan museum sejak 2017. "Tapi baru diresmikan pada 2018," kata dia kepada Tempo, Jumat, 2 Mei 2025. 

Kenapa Museum Multatuli di Rangkasbitung? 

Multatuli, nama pena Eduard Douwes Dekker, tak bisa dilepaskan dari sejarah Indonesia di masa kolonial. Orang Belanda yang pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda itu dikenal karena karyanya, Max Havelaar, yang isinya menentang sistem tanam paksa di Tanah Air.

Catatan, dan replika dari cetakan pertama buku Max Havelaar karya Edward Douwes Dekker di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak, Banten, 8 Maret 2025. Tempo/Jati Mahatmaji

Museum ini menggunakan nama Multatuli karena ia memiliki hubungan khusus dengan Lebak. "Eduard Douwes Dekker pada 1856 menjabat sebagai asisten residen Lebak. Tidak lama, hanya sekitar tiga bulan," kata Nur yang bertugas di museum itu sejak awal didirikan.

Selama menduduki jabatan tersebut, laki-laki kelahiran Amsterdam, 2 Maret 1820 itu menemukan banyak pelanggaran pada sistem cultuurstelsel atau tanam paksa di Lebak. Tanam paksa dijalankan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch sejak 1830, terutama di Jawa dan Sumatra. "Ciri penting sistem tanam paksa ini adalah antara peraturan dengan pelaksanaan di lapangan tidak sama. Jadi, kebijakannya berbeda-beda tergantung kebijakan pemerintah daerah," kata Nur. 

Eduard sempat melaporkan kepada atasannya, Residen C.P. Brest van Kempen, tetapi ia malah mendapatkan peringatan keras. Ia pun memilih mengundurkan diri, lalu pergi ke Belgia. Di Belgia, ia menulis Max Havelaar yang kemudian diterbitkan pada 1860. Ia menggunakan nama Multatuli, yang dalam bahasa Latin berarti "Aku sudah banyak menderita". 

Isi Museum 

Museum ini tidak hanya berisi kisah Multatuli. Terdapat tujuh ruangan dengan tema berbeda-beda yang disatukan dalam tema antikolonial. Begitu masuk museum, pengunjung akan menemukan gambar profil Eduard dengan salah satu kutipannya yang terkenal, "Tugas manusia adalah menjadi manusia”.

Memasuki pintu pertama, terlihat kapal miniatur beberapa kapal Belanda di abad ke-17, salah satunya Batavia, kapal dagang milik VOC yang dibangun di Amsterdam pada 1628. 

Di ruangan selanjutnya ada ruang tanam paksa yang menyajikan beberapa komoditas unggulan, di antaranya kopi dan lada. "Kopi merupakan komoditas unggulan di zaman taman paksa, mereka juga tanam tanaman lain yang laku di pasar Eropa seperti kina, nila, tebu, dan tembakau," kata Nur. Pengunjung juga bisa melihat struktur birokrasi pemerintah Hindia Belanda di masa itu. 

Masuk ke ruang Multatuli, pengunjung akan mengenal lebih dekat Douwes Dekker. Ada juga beberapa versi Max Havelaar yang dipajang di rak dinding. 

Pengunjung melihat linimasa sejarah Kabupaten Lebak di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak, Banten, Jumat, 2 Mei 2025. TEMPO/Mila Novita

Ruang Banten bercerita tentang proses perjuangan kemerdekaan, mulai dari cara tradisional dengan perjuangan fisik hingga cara modern dalam bentuk pemikiran. Dinding ruangan ini berisi infografis tentang beberapa organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. 

Ruang Lebak terasa lebih local karena berisi sejarah dari awal mula terbentuknya Kabupaten Lebak pada 2 Desember 1828. Bupati kedua Lebak, Tumenggung Adipati Kartanata Negara, namanya kerap disebut dalam roman Max Havelaar.

Ruangan terakhir di Museum Multatuli disebut Rangkasbitung. Tema ruangan ini berganti-ganti. Tapi saat Tempo berkunjung, ruangan ini berisi cerita para tokoh yang bersentuhan dengan Rangkasbitung dan Multatulis, seperti sastrawan WS Rendra yang menulis sajak tentang kota itu, Misbach Yusa Biran yang lahir di Rangkasbitung, dan Tan Malaka yang pernah bekerja di Bayah di Lebak.

Museum Multatuli bukan satu-satunya di Rangkasbitung. Museum dengan nama yang sama juga ada di Belanda, menempati rumah Eduard Douwes Dekker. 

Sejarah Indonesia di masa kolonial di Museum Multatuli menarik banyak pengunjung, terutama pelajar. Museum ini buka setiap hari, kecuali Senin, dengan harga tiket Rp 2.000 untuk pengunjung dewasa dan Rp 1.000 untuk pelajar.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |