Kereta Perang Gideon, Operasi Militer Israel untuk Singkirkan Warga Gaza

3 hours ago 1

ISRAEL menargetkan Jalur Gaza dengan sebuah strategi militer terbaru yang disebut “Merkavot Gideon” (Kereta Perang Gideon). Rencana ini disetujui dengan suara bulat oleh kabinet keamanan Israel.

Israel telah menyatakan akan memberikan Hamas tenggat waktu hingga akhir kunjungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ke Timur Tengah, sekitar sepuluh hari dari sekarang. Setelah itu "Operasi Kereta Perang Gideon" akan dimulai dengan kekuatan yang luar biasa dan terus berlanjut hingga semua tujuan tercapai, The New Arab melaporkan.

Pendudukan Berkedok Keamanan

Tidak seperti operasi sebelumnya, militer Israel akan tetap berada di wilayah mana pun yang berhasil direbutnya untuk mencegah Hamas mendapatkan kembali kendali. Wilayah yang telah dibersihkan akan dikelola sesuai dengan "model Rafah," di mana semua ancaman dihilangkan dan wilayah tersebut menjadi bagian dari zona penyangga keamanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pejabat tersebut juga, dikutip Times of Israel, menyatakan bahwa blokade terhadap bantuan kemanusiaan akan tetap ada selama tahap awal, dengan rencana kemanusiaan baru akan diimplementasikan setelah aktivitas militer dimulai dan warga sipil dievakuasi ke selatan.

Menteri Keuangan Bezalel Smotrich secara eksplisit mengatakan hal tersebut dalam sebuah konferensi di Yerusalem: "Kami menduduki Gaza untuk tinggal. Tidak ada lagi yang masuk dan keluar. Ini adalah perang untuk meraih kemenangan." Dia lebih lanjut mendesak warga Israel untuk meninggalkan ketakutan mereka terhadap kata "pendudukan", dan menegaskan bahwa "orang yang ingin hidup harus menduduki tanahnya," dengan demikian secara terbuka menunjukkan bahwa Gaza dipandang sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Israel.

Pemindahan Paksa sebagai Kebijakan Sentral

Elemen kunci dari rencana tersebut adalah evakuasi massal warga Palestina dari Gaza utara. Meskipun para pejabat Israel menggambarkan hal ini sebagai "relokasi sukarela," skala dan tujuannya jelas merupakan pemindahan paksa dan pembersihan etnis-tindakan yang melanggar hukum internasional jika dilakukan tanpa jaminan untuk kembali dengan aman.

Penduduk yang mengungsi akan didorong ke arah selatan ke zona-zona yang dikontrol ketat di bawah pengawasan ketat Israel. Bantuan kemanusiaan, yang sudah sangat terbatas hingga menyebabkan kondisi seperti kelaparan, akan semakin dipersenjatai. Menurut rencana, pengiriman bantuan hanya akan dilanjutkan setelah operasi militer berlangsung dan setelah penduduk mengungsi.

Bahkan kemudian, bantuan akan didistribusikan secara eksklusif melalui kontraktor sipil yang disetujui oleh militer Israel di daerah-daerah yang aman di mana para penerima bantuan akan menjalani penyaringan-sebuah taktik yang dikecam oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia sebagai pemaksaan dan penyalahgunaan bantuan kemanusiaan sebagai alat perang.

Simbolisme dan Propaganda

Nama operasi ini, Kereta Perang Gideon, memiliki makna simbolis yang mendalam. Dalam tradisi Ibrani, "Gideon" merujuk pada pejuang alkitabiah yang memimpin sebuah kelompok kecil untuk memusnahkan bangsa Midian – sebuah bangsa Arab kuno – yang melakukan kampanye militer sebagai tindakan pembalasan ilahi dan penaklukan etnis.

Istilah "Merkavot" (kereta perang) menambahkan lapisan yang mengancam, membangkitkan mitos kendaraan perang dan tank Merkava Israel, yang telah lama dikaitkan dengan kehancuran di Gaza dan Tepi Barat. Perpaduan antara mitologi agama dan peperangan mekanis ini membingkai operasi ini sebagai perang suci yang dilancarkan dengan instrumen pemusnah massal modern.

Pergeseran Strategi Israel

Dengan tidak adanya kesepakatan damai, Kereta Perang Gideon menandai pergeseran mendasar dalam strategi Israel di Gaza – dari pengepungan menjadi perebutan, dari serbuan sementara menjadi pendudukan yang berkelanjutan. Organisasi-organisasi hak asasi manusia, pengamat internasional, dan pakar hukum memperingatkan bahwa pendekatan ini berisiko mengarah pada pembersihan etnis dan pencaplokan permanen yang disamarkan sebagai kebutuhan militer.

Hamas mengutuk rencana tersebut, menuduh Israel menggunakan bantuan kemanusiaan sebagai dalih untuk merampas tanah dan pemindahan paksa. Kelompok ini menyatakan bahwa rencana tersebut mengekspos klaim distribusi bantuan Israel sebagai sesuatu yang salah, dan justru membingkainya sebagai strategi pendudukan Israel dan pembersihan etnis yang lebih luas.

Sementara itu, keluarga para sandera Israel, yang seolah-olah menjadi pembenaran utama operasi tersebut, telah menyatakan kemarahannya. Banyak yang melihat rencana tersebut sebagai pengkhianatan, mengorbankan orang yang mereka cintai demi tujuan teritorial dan politik. Kemarahan mereka semakin menjadi-jadi menyusul komentar Menteri Keuangan Smotrich baru-baru ini bahwa menyelamatkan para sandera "bukanlah tujuan yang paling penting."

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |