TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali melakukan penggeledahan terkait penyidikan kasus dugaan suap hakim dalam putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Hal ini diungkapkan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar. Menurut dia, ada tiga lokasi yang digeledah penyidik terkait kasus tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pada tanggal 15 April 2025, tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kejaksaan Agung, telah melakukan penggeledahan pada tiga tempat di dua provinsi,” ujar Qohar, di Gedung Kejaksaan Agung, pada Selasa malam, 15 April, seperti dikutip Antara.
Qohar mengungkapkan bahwa dalam proses penggeledahan tersebut, tim penyidik berhasil menyita sejumlah barang, yaitu tiga mobil dan empat sepeda. Dari ketiga mobil yang disita, dua di antaranya merupakan Mercedes Benz, sementara satu lainnya adalah Honda CR-V. Adapun empat sepeda yang turut diamankan diketahui berjenis Brompton.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar menambahkan bahwa penggeledahan itu berkaitan dengan penetapan tersangka Muhammad Syafei (MSY), selaku Kepala Tim Hukum PT Wilmar Group –salah satu korporasi yang menjadi terdakwa dalam kasus korupsi minyak goreng selain PT Permata Hijau Group dan PT Musim Mas Group.
Lokasi yang menjadi sasaran penggeledahan meliputi Apartemen Kuningan Place lantai 9 unit II di Jakarta Selatan, sebuah rumah yang terletak di Jalan Kancil Putih I, Kelurahan Demang Lebar Daun, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang, Sumatera Selatan, serta satu rumah lainnya yang disebut difungsikan sebagai kantor. Namun, Harli enggan memberikan keterangan lebih lanjut mengenai lokasi rumah yang dijadikan kantor tersebut.
Kepala Tim Hukum Wilmar Group Sediakan Uang untuk Suap
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan Kepala Tim Hukum PT Wilmar Group, Muhammad Syafei sebagai tersangka dalam kasus suap hakim penanganan perkara korupsi minyak goreng. Abdul Qohar menjelaskan, dalam kasus tersebut Syafei berperan sebagai orang yang menyediakan uang suap.
Kasus ini berawal dari pertemuan antara tersangka Wahyu Gunawan (WG), panitera muda perdata PN Jakarta Utara, dan Ariyanto (AR) selaku advokat dari pihak korporasi. “Pada saat itu, Wahyu Gunawan menyampaikan agar perkara minyak goreng mentah (CPO) harus diurus. Jika tidak, putusannya bisa maksimal. Bahkan, melebihi tuntutan jaksa penuntut umum,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Selasa.
Ariyanto kemudian menyampaikan informasi dari Wahyu kepada Marcella Santoso (MS), rekan advokat dalam perkara tersebut. Marcella lalu bertemu dengan Syafei di sebuah rumah makan di Jakarta Selatan. dan menyampaikan bahwa pengurusan perkara tersebut bisa dibantu oleh Wahyu.
“Dalam pertemuan tersebut, MS menyampaikan perihal informasi yang diperoleh AR dari WG yang mengatakan bahwa WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya,” ujar Qohar.
Dua pekan berselang, Wahyu kembali menghubungi Ariyanto agar segera mengurus kasus tersebut. Informasi ini lalu diteruskan Ariyanto ke Marcella, yang kemudian kembali bertemu dengan Syafei di rumah makan yang sama.
Dalam pertemuan itu, Syafei menyebut perusahaan telah menyiapkan dana sebesar Rp 20 miliar. Tak lama kemudian, Wahyu, Ariyanto, dan Muhammad Arif Nuryanta bertemu di sebuah rumah makan di Jakarta Timur. Arif pun menyampaikan bahwa perkara tersebut tidak bisa diputus bebas, tapi bisa diputus lepas (ontslag). Dia lalu meminta agar uang Rp 20 miliar itu dinaikkan menjadi Rp 60 miliar.
Setelah pertemuan itu, Wahyu meminta Ariyanto agar segera menyiapkan uang Rp 60 miliar. Permintaan lalu diteruskan kepada Marcella untuk disampaikan kepada Syafei. “MS menghubungi MSY dan dalam percakapan itu, MSY menyanggupi akan menyiapkan permintaan tersebut dalam bentuk mata uang dolar AS ataupun dolar Singapura,” ungkap Qohar.
Tiga hari setelahnya, Syarief mengatakan uang yang diminta sudah siap dan Ariyanto pun mengambilnya di area parkir kawasan SCBD, Jakarta Selatan. Dia pun menyerahkan uang itu ke rumah Wahyu untuk diteruskan ke Arif.
Setelah dana diterima, Arif yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, menunjuk majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom untuk menangani perkara korupsi tersebut. Pada 19 Maret 2024, majelis hakim Pengadilan Tipikor di PN Jakarta Pusat pun memutuskan ketiga perusahaan secara ontslag, menyatakan mereka terbukti melakukan perbuatan, namun tidak dianggap sebagai tindak pidana.
Jihan Ristiyanti dan Yudono Yanuar berkontribusi dalam penulisan artikel ini.