Kasus Dokter PPDS Priguna, Perdatin Beberkan Prosedur Anestesi di RS

1 day ago 2

TEMPO.CO, Jakarta — Modus pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh dokter program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran Priguna Anugerah Pratama menyorot perhatian. Ketua 1 Bidang Organisasi Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin), Dedi Atila, mengatakan pembiusan yang dilakukan Priguna kepada keluarga pasien menyalahi kaidah medis.

“Dia menyalahgunakan ilmunya. Jadi dia punya pengetahuan tentang pembiusan, lalu dia salahgunakan untuk sesuatu yang kriminal. Transfusi mesti anestesi itu enggak lah. Enggak lazim itu,” katanya kepada Tempo, Sabtu, 12 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dedi menjelaskan transfusi darah biasanya tidak memerlukan anestesi. Sebelum tindakan pembiusan dilakukan, kata Dedi, harus ada evaluasi medis yang disebut sebagai pemeriksaan pra-anestesi.

“Kalau operasinya terencana, beberapa hari sebelumnya pasien datang ke poliklinik anestesi. Di sana akan diwawancara soal riwayat penyakit, alergi, dan apakah pernah mengalami masalah saat dibius,” tutur Dedi.

Untuk operasi darurat, pemeriksaan tetap dilakukan meski waktunya terbatas. Selain itu, pembiusan hanya boleh dilakukan di lokasi tertentu yang memenuhi standar medis, seperti ruang operasi, ruang tindakan seperti cath lab, atau ruang radiologi. Tindakan anestesi pun harus dilakukan oleh dokter ahli.

Sebelumnya, Priguna ditetapkan sebagai tersangka karena memerkosa pendamping pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Modusnya, dengan membius atau memberikan anestesi sehingga membuat korban tak sadarkan diri. 

Anestesi umumnya digunakan dalam tindakan medis untuk hilangnya rasa nyeri, relaksasi otot, atau membuat pasien tertidur. Namun, kata Dedi, tidak semua pembiusan berarti pasien harus tak sadarkan diri total.

“Kalau ditidurkan, itu biasanya untuk anestesi umum. Ada juga yang setengah badan, seperti anestesi spinal, yang pasiennya tetap sadar,” ujar Dedi.

Ia menambahkan anestesi bukan hanya diberikan saat operasi besar, melainkan bisa juga untuk prosedur non-operatif, seperti CT scan, juga pada pasien anak yang memerlukan kondisi rileks dan tenang. “Intinya, anestesi itu untuk kasus-kasus tertentu yang membutuhkan penghilangan rasa nyeri atau relaksasi,” ujarnya.

Adapun Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menduga adanya indikasi kelalaian dalam pengawasan penggunaan obat bius di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat. Ia menyoroti penggunaan obat bius seharusnya hanya dapat dilakukan oleh dokter konsulen, bukan oleh peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) atau dokter residen.

"Yang hanya boleh ngambil obat itu adalah konsulennya. Harusnya bukan si muridnya," kata Budi saat ditemui usai menghadiri pelantikan pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI), di Hotel Mercure, Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu, 12 April 2025. "Aturannya sudah jelas semua, bahwa itu harus disimpan di tempat tertentu. Kok ini bisa sampai ke anak didik? Itu mesti dicek, di mana lepasnya."

Budi menyatakan pihaknya akan mengevaluasi secara menyeluruh tata kelola pendidikan dan pelayanan dokter PPDS, termasuk alur pengambilan dan penggunaan obat-obatan yang sensitif seperti anestesi.

"Kalau kita sudah kasih ke orang yang bertanggung jawab, tapi ternyata dia nurunin ke anak didiknya, itu kan harusnya tidak boleh. Yang pegang obat itu harusnya gurunya, bukan anak didiknya," kata dia.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |