Hari Ibu 2025: Ibu Berhak Bahagia dengan Merawat Diri Tanpa Rasa Bersalah

4 hours ago 2

CANTIKA.COM, Jakarta - Menjadi seorang ibu sering kali identik dengan memberi tanpa henti. Waktu, tenaga, dan perhatian hampir selalu tercurah untuk anak, pasangan, dan urusan rumah tangga. Tak heran jika banyak ibu merasa bersalah hanya untuk sekadar berhenti sejenak dan memikirkan diri sendiri. 

Data dari Lifeed menunjukkan, hampir 80 persen ibu mengaku lebih sering mengutamakan kebutuhan orang lain dibanding kebutuhan pribadinya, bahkan menganggap waktu untuk diri sendiri sebagai sesuatu yang “mengambil” dari tanggung jawab keluarga.

Melalui Edisi Khusus Hari Ibu 2025 bertema “Reconnect to Connect”, Cantika bekerja sama dengan psikolog klinis Kezia Toto untuk menghadirkan sudut pandang yang lebih menenangkan bagi para ibu, bahwa merawat diri bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti atau disertai rasa bersalah. Lewat edisi ini juga, Cantika ingin mengajak ibu untuk kembali terhubung dengan dirinya sendiri, tanpa merasa harus kehilangan peran atau cintanya pada keluarga.

Psikolog Kezia Toto, saat berbincang dengan Cantika di Jakarta, Kamis, 11 Desember 2025. Foto: CANTIKA/Nita Febriani

Self-Care itu Egois Enggak Sih? Gimana Cara Membedakannya?

Saat ini, masih banyak ibu yang nyaris tak punya ruang untuk bernapas. Merasa terjebak dalam tuntutan untuk selalu hadir, selalu kuat, dan selalu mengalah. Di titik inilah pertanyaan penting muncul: benarkah merawat diri adalah bentuk keegoisan, atau justru kebutuhan yang selama ini diabaikan.

Kezia menjelaskan juga bahwa pertanyaan ini bisa dijawab dengan menggeser sudut pandang kita. Alih-alih langsung menghakimi diri sendiri, cobalah membayangkan situasi yang sama dialami oleh orang lain. 

“Ketika kita menempatkan orang lain di posisi kita, misalnya hanya butuh setengah jam untuk punya ruang pribadi, apakah itu terasa egois?” ujar Kezia.

Ia melanjutkan, sering kali standar yang kita terapkan pada diri sendiri jauh lebih keras dibandingkan pada orang lain. “Kalau adik kita ada di dilema itu, apa yang akan kita katakan padanya? Apakah kita akan menyebutnya egois? Biasanya, saat melihat dari perspektif orang lain, kita justru lebih berempati,” jelas Kezia. Dengan sudut pandang ini, self-care tak lagi terlihat sebagai bentuk keegoisan, melainkan sebagai kebutuhan yang juga layak dimiliki oleh ibu, sama seperti orang lain.

Memaknai Self-Care Bukan sebagai Kemewahan, tapi Kebutuhan

Bagi banyak ibu, self-care masih kerap dimaknai sebagai sesuatu yang berlebihan, bahkan egois. Padahal, menurut Kezia, self-care seharusnya dipahami sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan dasar emosional dan mental, bukan sekadar aktivitas menyenangkan atau waktu luang yang mewah. Ketika ibu terus-menerus menunda kebutuhan dirinya demi orang lain, ada risiko kelelahan emosional yang terakumulasi dan tidak disadari.

Kezia juga menjelaskan bahwa merawat diri bukan berarti mengurangi peran atau cinta ibu terhadap keluarga. Sebaliknya, self-care justru membantu ibu menjaga kapasitas emosionalnya agar tetap stabil dan hadir secara utuh dalam menjalani peran sehari-hari. 

Dengan kondisi mental yang lebih terjaga, ibu dapat merespons situasi dengan lebih tenang, empatik, dan tidak mudah kewalahan. Inilah mengapa self-care perlu dilihat sebagai bagian dari tanggung jawab terhadap diri sendiri, bukan sebagai bentuk keegoisan.

Apa Tanda Utama Seorang Ibu Mengalami Kelelahan Emosional dan Butuh Waktu Sendiri?

Ilustrasi kelelahan atau jam koma. Foto: Canva

Menurut Kezia, kelelahan emosional pada ibu kerap muncul secara perlahan dan sering tidak disadari. Ia mengibaratkannya seperti kendaraan yang kehabisan bahan bakar. 

“Tanda kelelahan secara emosional itu seperti kendaraan kalau bensinnya habis, akhirnya mogok,” ujarnya. Saat kondisi ini terjadi, peran ibu pun bisa terasa sangat berat, bahkan untuk menjalani rutinitas sehari-hari.

Kezia menjelaskan, ibu yang kelelahan secara emosional bisa menjadi lebih mudah tersulut, merasa iri, atau bereaksi berlebihan terhadap hal-hal kecil. 

“Karena sudah burnout atau (mentally) exhausted, perannya seperti mogok. Mengurus anak jadi terasa sulit, dan hal-hal sepele juga bisa memicu reaksi yang besar,” lanjutnya. 

Tanda lain yang patut diwaspadai adalah ketika ibu bangun pagi tanpa semangat sama sekali dan merasa hampa. Lalu, sinyal-sinyal ini penting untuk didengarkan sebagai pengingat bahwa ibu membutuhkan jeda dan ruang untuk dirinya sendiri.

Jika kondisi ini berangsur parah, tentunya ibu dapat meminta pertolongan tenaga profesional. Mencari bantuan profesional bukan berarti seseorang harus menunggu sampai mengalami gangguan mental. 

Menurutnya, ketika ibu sudah merasa kewalahan dan membutuhkan ruang aman untuk bercerita, datang ke konselor justru bisa menjadi langkah yang sangat membantu. “Pergi ke konselor bukan hanya untuk mereka yang punya gangguan mental. Saat sudah overwhelmed dan butuh bantuan seseorang, sangat boleh untuk datang ke profesional,” ujarnya.

Kemudian, Kezia juga menekankan pentingnya dukungan komunitas. Berada di lingkungan dengan orang-orang yang mengalami perjalanan serupa dapat memberi rasa dimengerti dan diterima. 

“Ketika kita bertemu dengan orang yang punya pengalaman yang sama, ada validasi dan perasaan ‘I belong this journey’. Itu juga menumbuhkan rasa bahwa kita tidak sendirian dalam menjalaninya,” jelas Kezia. Dukungan seperti inilah yang kerap menjadi penguat emosional bagi ibu untuk kembali merasa utuh dan terkoneksi.

Peran Pasangan dan Keluarga dalam Membantu Ibu untuk Merawat Dirinya Sendiri

Ilustrasi orangtua bermain cilukba dengan anak. Shutterstock

Dalam wawancara tersebut, Kezia juga mengatakan bahwa peran dari pasangan dan keluarga tak kalah penting dalam perjalanan self-care seorang ibu.

Di satu sisi, tanggung jawab pengasuhan tidak seharusnya dibebankan sepenuhnya pada ibu. Merawat dan membesarkan anak adalah tugas bersama yang menjadi tanggung jawab kolektif antara pasangan dan keluarga agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal.

Kezia juga mengingatkan bahwa manusia tidak hanya memiliki satu identitas. Selain sebagai ibu, perempuan tetap memiliki peran dan kebutuhan lain sebagai individu. Ketika seseorang dipaksa terus-menerus berada dalam satu peran saja, kelelahan emosional menjadi sulit dihindari. 

Karena itu, Kezia menegaskan pentingnya peran pasangan sebagai partner, bukan sekadar “membantu”. 

“Istilah 'membantu' sering kali justru menambah beban emosional ibu, karena seolah-olah ibu tetap harus mengatur dan menentukan apa yang perlu dibantu,” jelasnya.

Sebaliknya, ketika pasangan mau step up, ikut berpikir, dan mengambil peran secara aktif tanpa harus diminta, beban emosional ibu dapat berkurang secara signifikan. Kehadiran pasangan sebagai partner yang setara bukan hanya meringankan tugas sehari-hari, tetapi juga memberi rasa ditemani dalam perjalanan pengasuhan.

Lalu, apa contoh self-care paling mudah yang bisa dilakukan ibu?

Ada salah satu bentuk self-care paling sederhana, tapi sering terlewat adalah self-compassion atau berwelas asih pada diri sendiri. Kezia menjelaskan bahwa self-compassion memiliki tiga aspek utama. “Yang pertama adalah berlaku baik pada diri sendiri, berbicara dengan lembut, tidak mengucapkan hal-hal yang menjatuhkan diri,” ujarnya.

Aspek kedua adalah menyadari bahwa apa yang dialami ibu juga dialami banyak orang lain. “Dengan memahami bahwa pengalaman ini tidak hanya kita yang mengalami, akan muncul perasaan ‘I’m not alone in this’,” tutur Kezia. 

Sementara aspek ketiga adalah mindfulness, yakni kemampuan mengamati diri sendiri tanpa penghakiman. Sering kali kita langsung menghakimi diri, merasa jadi ibu yang kurang baik, merasa salah berarti memang salah. Padahal, kita bisa cukup mengobservasi saja: memang hidup sedang berat, dan itu tidak apa-apa,” jelasnya.

Dengan langkah-langkah sederhana ini, self-care tidak lagi terasa rumit atau mahal, melainkan hadir lewat cara ibu memperlakukan dirinya sendiri setiap hari.

Jika selama ini self-care terasa seperti “hukuman” dari peran sebagai ibu, tarik napas sejenak, kamu tidak sendirian. Perasaan itu wajar, lahir dari cinta dan tanggung jawab yang begitu besar. Namun, penting untuk diingat: sebelum menjadi ibu, kamu adalah diri kamu sendiri. Seseorang yang juga berhak lelah, beristirahat, dan dirawat dengan penuh kasih. 

Jadi, pelan-pelanlah pada dirimu sendiri. Selamat Hari Ibu untuk setiap perempuan yang terus belajar mencintai dirinya tanpa rasa bersalah, satu langkah kecil dalam perjalanan yang sangat berarti.

Pilihan Editor: Hari Ibu 2025: Mengapa Ibu Sering Kehilangan Diri Setelah Melahirkan?

LANNY KUSUMASTUTI | CAROLYN NATHASA DHARMADHI

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi Terkini Gaya Hidup Cewek Y dan Z di Instagram dan TikTok Cantika.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |