Celios Kritik Ketergantungan Indonesia ke Gas, Hambat EBT

2 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengkritik kebijakan energi nasional yang masih mengandalkan energi fosil, terutama gas. Ia menilai strategi ini justru menghambat upaya transisi energi berkeadilan dan menambah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam jangka panjang.

Menurut Bhima, ketergantungan pada gas bukan hanya menghambat pembangunan energi bersih, tetapi juga tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pemerintah terus mendorong pembangkit listrik tenaga fosil, padahal ini menurunkan output ekonomi dan mengurangi lapangan kerja,” ujar Bhima dalam peluncuran riset berjudul "Mengapa Ketergantungan Gas Fosil Menghambat Transisi Energi Bersih" di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 24 April 2025.

Alih-alih mempertahankan gas sebagai energi transisi, Bhima mendorong pemerintah untuk lebih fokus pada pengembangan energi terbarukan. Ia menyebut potensi Indonesia sangat besar di sektor energi tenaga surya, angin, dan mikrohidro. Pemanfaatan energi terbarukan tersebut, kata dia, juga mampu menciptakan lebih banyak lapangan kerja dibandingkan ketika mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG).

Kritik Bhima juga mengarah pada konsekuensi dari pembangunan PLTG skala besar. Ia menilai langkah ini akan memperdalam ketergantungan Indonesia terhadap impor gas alam cair (LNG), terutama saat pasokan domestik tidak mencukupi.

“Ketergantungan pada impor LNG ini menambah tekanan pada neraca transaksi berjalan dan memperlemah nilai tukar rupiah dalam jangka panjang,” jelasnya.

Ketergantungan pemerintah terhadap gas tercermin dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan. Pemerintah di antaranya ingin mengurangi pembangkit listrik tenaga minyak bumi dengan gas. Menurut Bhima, turan ini memang memuat rencana pensiun dini PLTU batubara, namun dia melanjutkan, aturan tersebut lebih menitikberatkan pada aspek pendanaan ketimbang urgensi ekologis.

“Pola pikirnya harus kita ubah. Kita harus cepat mempensiunkan PLTU batubara karena semakin lama ditunda, semakin besar kerugian ekonomi, lingkungan, dan kesehatan,” ujarnya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat nilai ekspor LNG Indonesia pada 2022 mencapai USD 6,6 miliar—naik dari USD 4,6 miliar pada 2021. Meski pada 2023 ekspor mengalami penurunan akibat meningkatnya kebutuhan domestik, ketergantungan struktural tetap menjadi masalah yang belum terselesaikan.

Dalam draf Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2024–2033, pemerintah memproyeksikan penambahan kapasitas pembangkit nasional sebesar 102 gigawatt hingga 2040. Dari jumlah itu, 75 persen berasal dari energi terbarukan, sementara 20 persen masih mengandalkan gas sebagai sumber energi.

Pemerintah juga menargetkan pembangunan PLTG sebesar 22 gigawatt di lebih dari 100 lokasi hingga 2040. Rencana itu, menurut Bhima, menunjukkan ketergantungan yang besar terhadap gas. Meski pemerintah menyebut langkah ini sebagai strategi untuk memperkuat ketahanan energi dan mendukung transisi bersih, Bhima melihat arah kebijakan ini masih bertumpu pada energi fosil.

Bhima menegaskan bahwa ketahanan energi tidak akan terganggu jika Indonesia mulai mengurangi operasional PLTU dan PLTG secara bertahap. Ia menyebut energi terbarukan lebih stabil dan terjangkau dibandingkan batu bara yang harganya fluktuatif. 

“Ketahanan energi tetap bisa kita dorong lewat energi terbarukan. Harga batubara fluktuatif, sementara energi surya dan angin lebih stabil dan murah,” jelasnya.

Ia juga memaparkan potensi besar energi terbarukan di sejumlah wilayah Indonesia. Seperti di Pulau Jawa dengan potensi pengembangan tenaga surya, angin, dan mikrohidro. Sulawesi memiliki potensi besar untuk tenaga angin, sedangkan Nusa Tenggara Timur ideal untuk pengembangan tenaga surya. Dia menambahkan, arah kebijakan yang tepat akan mempercepat investasi dan mendorong partisipasi masyarakat dalam sektor energi terbarukan.

“Kalau pemerintah mengambil arah yang tepat, investasi dan partisipasi masyarakat di sektor energi terbarukan pasti meningkat,” ujarnya.

Ia pun mendorong pemerintah untuk segera mengevaluasi kebijakan energi nasional secara menyeluruh.

“Kalau kita mau menjaga APBN dan mendorong pertumbuhan ekonomi, ya hentikan dulu ketergantungan pada energi fosil,” ujar Bhima.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |