Bedanya Negara Lain Didik Siswa Nakal dengan Dedi Mulyadi

5 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi merealisasikan idenya untuk mengirim anak-anak bermasalah ke barak militer. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menjalin kerjasama dengan TNI AD untuk melaksanakan program tersebut.

Sekitar 80 siswa mengikuti pendidikan di Rindam III/Siliwangi, sementara 40 siswa lainnya mengikuti di Resimen Armed 1 Purwakarta. Para peserta didaftarkan oleh orang tuanya yang menandatangani perjanjian tertulis, menyatakan bahwa anak mereka bersedia mengikuti program tersebut secara sukarela.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbagai negara sudah menggunakan pendekatan pembinaan anak dengan sistem semimiliter. Namun, pola yang diadopsi oleh negara-negara tersebut berbeda dengan rencana program Pemerintah Jawa Barat.

Di Amerika Serikat, misalnya, terdapat program The National Guard Youth Challenge Program (NGYCP) yang diluncurkan oleh Garda Nasional pada tahun 1993. Program ini bertujuan membantu remaja berusia 16-18 tahun yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pendidikan formal. Sebagaimana dijelaskan di laman resmi NGYCP, program ini fokus membina remaja bermasalah, putus sekolah, atau yang berisiko tinggi agar bisa meraih ijazah setara SMA melalui pelatihan selama 17 bulan.

Sementara itu, di Cina, terdapat sekolah dengan gaya pendidikan semimiliter seperti Hengshui High School di Provinsi Hebei, yang dikenal karena metode pendidikannya yang sangat disiplin dan militeristik. Sekolah ini umumnya menampung siswa dari kalangan kurang mampu. Mengutip Global Times, Hengshui dijuluki sebagai "pabrik gaokao" karena mempersiapkan siswanya secara intensif untuk menghadapi ujian masuk perguruan tinggi nasional. Namun, beberapa studi menunjukkan, tekanan berlebih dari sistem ini diduga berkaitan dengan sejumlah kasus bunuh diri yang terjadi di kalangan siswa pada tahun 2015.

Adapun sekolah-sekolah di Finlandia lebih mengutamakan pendekatan keadilan restoratif dibandingkan dengan hukuman tradisional. Fokus utama mereka adalah memperbaiki hubungan sosial yang terganggu dan membina pemahaman, bukan sekadar memberikan sanksi. Ketika terjadi konflik, guru sering memfasilitasi diskusi kelompok yang melibatkan semua pihak terkait. Sehingga memungkinkan siswa bermasalah untuk menyampaikan perasaan, memahami sudut pandang satu sama lain, dan bersama-sama mencari penyelesaian yang adil. Proses ini menciptakan ruang bagi empati dan keterbukaan emosional, sehingga setiap siswa merasa dihargai.

Sebagai bagian dari pendekatan ini, banyak sekolah juga melibatkan siswa yang lebih senior sebagai mediator sebaya, yang dilatih untuk membantu menyelesaikan konflik kecil antar teman. Ini membangun rasa tanggung jawab dan kepemimpinan sejak dini, serta membiasakan siswa untuk menyelesaikan masalah secara mandiri dan adil. Selain itu, siswa yang melakukan pelanggaran biasanya tidak dihukum secara langsung, melainkan diminta untuk melakukan refleksi pribadi melalui tulisan, dengan tujuan memahami dampak tindakan mereka dan merancang langkah konkret untuk memperbaikinya.

Dalam situasi yang lebih serius, sekolah akan mengadakan pertemuan bersama antara siswa, guru, dan orang tua. Pertemuan ini bertujuan untuk menggali akar penyebab dari perilaku bermasalah dan mencari solusi kolaboratif yang tidak merugikan perkembangan anak. Beberapa sekolah juga melibatkan siswa dalam aktivitas sosial di lingkungan sekolah sebagai bentuk tanggung jawab dan pembelajaran moral, misalnya dengan membantu dalam kegiatan sekolah atau mendampingi siswa yang lebih muda. Pendekatan ini secara keseluruhan mendorong tumbuhnya kesadaran, empati, dan rasa memiliki dalam diri siswa terhadap komunitas sekolah mereka.

Sedangkan di Inggris, seperti dikutip dari laman Childawadvice, sekolah memiliki tanggung jawab untuk menjunjung tinggi standar dan ekspektasi tinggi terhadap perilaku baik yang tercermin dalam seluruh aspek kehidupan sekolah, mulai dari budaya, etos kerja, dan nilai-nilai, hingga cara siswa dibimbing dan didorong untuk bertingkah laku baik, serta bagaimana sekolah merespons perilaku yang tidak pantas. Sikap dan pendekatan sekolah terhadap perilaku seharusnya mudah dikenali oleh siapa pun yang menjadi bagian dari komunitas sekolah, baik itu siswa, staf, orang tua, atau pengunjung. Semua individu dalam lingkungan sekolah diharapkan saling memperlakukan dengan rasa hormat, kebaikan, dan martabat.

Ketika seorang anggota staf menyaksikan perilaku yang tidak sesuai, mereka wajib merespons secara cepat, tegas, dan sesuai dengan pedoman kebijakan perilaku sekolah. Hal yang paling penting adalah menjaga keselamatan seluruh warga sekolah dan memulihkan suasana yang kondusif.

Agar pesan disiplin tersampaikan dengan jelas, setiap anggota staf perlu bertindak secara konsisten, adil, dan proporsional, sehingga siswa memahami bahwa setiap bentuk perilaku negatif akan selalu ditanggapi dengan serius. Untuk mencegah eskalasi situasi atau munculnya masalah baru, sekolah dapat memanfaatkan teknik de-eskalasi dan menggunakan naskah serta frasa yang telah disusun sebelumnya guna membantu mengembalikan suasana tenang dan terkendali.

Ervana Trikarinaputri dan Eka Yudha Saputra ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Cap Siswa Nakal Ala Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |