Asal-usul Nama Pekojan, Kampung Arab Pertama di Jakarta

4 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Pekojan, Kecamatan Tambora, dikenal sebagai salah satu kampung Arab pertama di Jakarta. Laman Jakarta.go.id, menuliskan bahwa kampung ini merupakan cikal-bakal perkampungan Arab lain, seperti Krukut di Jakarta Barat, Kwitang di Jakarta Pusat, dan Cawang di Jakarta Timur.

LWC van den Berg, penulis buku klasik Orang Arab di Nusantara, menuliskan bahwa nama Pekojan berasal dari kata Khoja. Kata ini merupakan sebutan untuk pedagang-pedagang dari India yang beragama Islam di Nusantara. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tempo mengikuti walking tour Kota Tua Jakarta ke Pekojan pada Sabtu, 19 April 2025. Arif, pemandu tur dua jam itu, mengatakan bahwa orang-orang India yang datang ke Batavia ini berasal dari Gujarat. Mereka datang ke Nusantara beberapa tempat sehingga nama Pekojan juga bisa ditemukan di tempat lain, salah satunya Semarang, Jawa Tengah.

Orang-orang Gujarat datang untuk jual-beli rempah-rempah. Perjalanan dari India ke Nusantara yang makan waktu berbulan-bulan membuat mereka butuh istirahat lama dari pelayaran. Di Batavia, mereka menetap sementara di Pekojan. "Kenapa di sini? Aksesnya dekat dengan pelabuhan (Sunda Kelapa), bisa lewat kanal," kata Arif. 

Pekojan merupakan bagian Ommelanden, daerah di luar Kota Batavia yang saat itu meliputi Pelabuhan Sunda Kelapa sampai Beos atau Stasiun Kota. Saat itu pemerintah Hindia Belanda menempatkan penduduk non-Eropa di Ommelanden secara berkelompok berdasarkan etnis.

Meski Pekojan awalnya dihuni pedagang dari India, wilayah ini kemudian terkenal sebagai kampung Arab. Arif mengatakan, setelah para pedagang India ini bermukim, datanglah para pedagang Arab yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Di Pekojan, mereka tidak hanya menetap tetapi juga menyebarkan Islam. Karena itulah, di Pekojan ditemukan beberapa masjid dan tempat belajar agama yang masih ada sampai saat ini. 

Masjid Annawier Pekojan, Sabtu, 19 April 2025. TEMPO/Mila Novita

Masjid dan Tempat Belajar Agama dari Zaman Kolonial

Salah satu tempat ibadah yang masih bisa ditemukan di area ini adalah Masjid Al-Ansor yang berada di sebuah gang kecil di permukiman padat. Keberadaan masjid tercatat sejak 1648. Karena berada di gang sempit dan bangunannya tidak terlalu besar, masjid ini lebih mirip musala. Masjid ini terdaftar sebagai bangunan cagar budaya sejak 1972, tapi sayangnya tidak banyak yang dipertahankan dari bentuk aslinya. Menurut Arif, bangunan asli masjid ini hanya tersisa kurang dari lima persen. "Bangunan aslinya tinggal atap saja, yang lain sudah modern," kata dia. 

Selain Masjid Al-Anshor, ada juga Masjid Annawier di Jalan Pekojan Raya. Menurut Arif, masjid yang didirikan pada 1760 itu merupakan masjid paling megah di Batavia pada masanya. Bangunan ini menghadap kanal yang di masa itu menjadi jalur utama transportasi. Arsitekturnya bergaya neo gotik Eropa dengan jumlah pintu lima dan enam di masing-masing sisi. Jumlah ini melambangkan rukun iman dan rukun Islam. Masjid ini memiliki 33 pilar yang menyamai jumlah tasbih. Salah satu area masjid masih menggunakan lantai tegel dari zaman Belanda. 

Arif menjelaskan, pada masa itu masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga tempat belajar agama. Salah satu tokoh pengajarnya adalah Mufti Utsman bin Yahya. Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi yang dikenal sebagai Habib Kwitang adalah salah satu muridnya. 

Selain masjid, di Pekojan juga terdapat bangunan yang dibuat orang Arab khusus untuk belajar agama, di antara yang tersisa adalah Masjid Azzawiyah dan Langgar Tinggi. 

Masjid Langgar Tinggi, kata Arif, dulunya merupakan tempat tinggal sementara orang Khoja dan Arab. Lantai atas bangunan bertingkat ini dulunya tempat kajian. "Selama tinggal,  mereka menyebarkan agama dengan buka kajian Islam di atas, makanya bentuknya seperti musala," kata dia.

Kini, Langgar Tinggi yang dibangun pada 1829 ini benar-benar dijadikan musala. Bagian bawah yang tadinya tempat tinggal, kini diisi beberapa toko parfum. 

Meski masih disebut dengan Kampung Arab, Pekojan tak lagi dihuni banyak keturunan Arab. Menurut Arif, kebanyakan dari mereka pindah ke Condet dan membentuk kampung Arab baru di sana. "Keturunan Arab di Pekojan tak sampai lima persen," kata dia. 

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |