Wawancara Ariel Tatum: Mencari Kekuatan Perempuan Lewat Sejarah

2 hours ago 2

DALAM film Perang Kota atau This City Is a Battlefield garapan Mouly Surya, aktris Ariel Tatum mendapat kesempatan menghidupkan sosok Fatimah. Sebagai karya adaptasi, karakter tersebut lahir dari novel klasik Jalan Tak Ada Ujung (1942) karya Mochtar Lubis.

Pilihan Editor: Film Pilihan Pekan Ini: Perang Kota hingga Antihero Marvel

Fatimah adalah istri Isa (Chicco Jerikho), seorang mantan pejuang kemerdekaan yang kini menjadi guru, namun terjebak dalam trauma masa lalu yang membuatnya mengalami impotensi. Saat konflik bersenjata kembali pecah, Fatimah diam-diam terjerat hubungan gelap dengan Hazil (Jerome Kurnia), rekan Isa, di tengah kota Jakarta yang berkecamuk pada 1946.

Sosok Fatimah dalam Perang Kota cukup berbeda dengan karakter Fatimah dalam karya Mochtar Lubis. Ia digambarkan lebih vokal, bahkan ikut bertarung dan menggunakan senjata. Film yang memotret kompleksitas psikologis Indonesia pascakemerdekaan itu membawa Ariel ke sebuah perjalanan panjang, yaitu memahami peran perempuan di tengah getirnya masa revolusi. Ia juga belajar memahami kekuatan, kecerdasan, dan daya hidup seorang perempuan di masa itu.

Berbicara kepada Tempo pada Rabu 16 April 2025 di kawasan Palmerah Barat, Jakarta Barat, pemeran film drama musikal Sepeda Presiden (2021) itu bercerita tentang tantangan membentuk karakter Fatimah yang dalam novel aslinya—memang tak digambarkan secara gamblang. Bersama Mouly, ia merumuskan ulang Fatimah, mengisinya dengan kecerdasan, ketangguhan, dan nuansa emosional yang tetap relevan bagi penonton modern.

Penyesuaian ini lahir dari riset panjang, seperti diskusi dengan sejarawan, membaca buku-buku sejarah, hingga memulai percakapan dengan sang ayah yang mencintai sejarah. Dalam proses mendalami perannya, Ariel mencari inspirasi dari tokoh-tokoh perempuan Tanah Air, salah satunya Hajjah Rangkayo Rasuna Said, perempuan pejuang kemerdekaan. Ia meyakini bahwa latar budaya dan cara seseorang dibesarkan turut membentuk keteguhan karakter, sebagaimana Fatimah yang hidup dalam pusaran konflik bersenjata.

Aktris Ariel Tatum dalam kunjungan ke kantor Tempo untuk promosi film terbarunya, Perang Kota di Jakarta, 26 April 2025. Tempo/Fardi Bestari

Di luar akting, film ini turut menghidupkan kembali kecintaan Ariel pada musik klasik. Selain berperan, ia turut bermain piano, membawakan karya George Gershwin, serta belajar biola di sela-sela produksi. Bagi Ariel, Perang Kota bukan sekadar proyek akting, melainkan usaha menggali kekuatan perempuan dalam riuh sejarah bangsanya.

Perang Kota tayang perdana di International Film Festival Rotterdam (IFFR) pada 9 Februari 2025, tayang di Belanda, Belgia, dan Luksemburg pada 17 April 2025 dan telah tayang di bioskop Tanah Air pada 30 April 2025.

Bagaimana Anda memaknai sosok Fatimah dalam film ini?

Pertama kali saya membaca buku Jalan Tak Ada Ujung itu ketika saya duduk di bangku SMP, dan ketika saya tahu akan diadaptasi menjadi film dan saya memerankan Fatimah, itu sebenarnya menjadi tantangan yang menarik. Di satu sisi, karena di bukunya sendiri, penggambaran sosok Fatimah ini tidak begitu dalam. Saya dan Mouly banyak berdiskusi.

Dia juga memberikan saya ruang untuk menambahkan, untuk memberikan ide tentang bagaimana kami mau menjadikan sosok Fatimah ini masih relevan di era itu dan di era modern ini. Sosoknya, karena Fatimah itu hidup di tengah perang dan turut berjuang, pastinya dia sosok yang sangat kuat, sangat tangguh, sangat memiliki kecerdasan yang luar biasa juga dan memiliki talenta lain yang kami berdua kembangkan selama proses workshop.

Sejauh mana Anda memahami tantangan menjadi perempuan yang hidup di masa 1946, dalam konteks karakter Fatimah?

Tantangan yang luar biasa, pertama karena saya tahu bagaimana rasanya benar-benar hidup di masa itu. Kedua, belum ada penjelasan yang cukup juga tentang Fatimah dari novel. Tapi di satu sisi, banyak eksplorasi, banyak diskusi dengan para sejarawan.

Saya juga banyak melakukan riset lewat buku. Kebetulan ayah saya sangat menyukai sejarah jadi banyak diskusi juga dengan beliau, mencari referensi dari film lainnya, dan juga sosok-sosok pada masa tersebut yang saya rasa masuk akal yang bisa saya masukkan beberapa unsur dari mereka ke karakter Fatimah.

Dalam membangun karakter Fatimah, tokoh sejarah atau referensi kultural apa saja yang Anda angkat, dan sejauh mana pengaruhnya terhadap pendekatan akting Anda?

Salah satunya, saya sempat mencari sosok yang memiliki latar belakang budaya, salah satunya adalah Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Saya pribadi merasa, karena saya orang Jawa, dimanapun kita berada, bagaimana kita dibesarkan, dan dari mana kita berasal, itu pasti mempengaruhi karakter kita sebagai manusia, sedikit banyak.

Bagaimana kita dibesarkan, dan bagaimana keluarga kita juga berperan. Itu salah satunya. Selain itu, saya merasa banyak perempuan dalam hidup saya yang kecerdasannya, resiliensinya, dan semangat berjuangnya bisa saya jadikan contoh, yang bisa saya masukkan langsung ke dalam karakter Fatimah.

Apa kesan pertama Anda saat mendapatkan peran ini?

Dari awal pertama kali diminta untuk membuat rekaman audisi, saya sudah menangis haru. Karena saya memang salah satu pengagum karya-karya Mouly Surya. Waktu saya coba membaca naskah, meskipun hanya beberapa halaman yang dikirimkan, saya langsung mencoba mengupayakan segala yang saya bisa. Saya bersyukur sekali, karena pada akhirnya diberi kesempatan untuk berjodoh dengan peran ini. Karena pada akhirnya, karakter itu akan mencari sendiri pemerannya.

Bagaimana pengalaman Anda membangun chemistry dengan Chicco Jerikho dan Jerome Kurnia selama proses produksi?

Kebetulan ini adalah proyek pertama kami bergabung bersama. Saya sebenarnya sangat introvert, sementara mereka berdua sangat ekstrovert. Kami memiliki waktu yang cukup banyak untuk membangun chemistry. Proses workshop sebelum syuting itu berlangsung sekitar empat bulan. Selama empat bulan itu banyak sekali kesenangan yang kami alami.

Kami membangun chemistry bersama, dari saling mengenal secara personal, sampai akhirnya mulai masuk ke proses penciptaan karakter masing-masing. Kami membangun dinamika pernikahan antara karakter saya (Fatimah) dan Chicco (Isa), juga hubungan antara Fatimah dan Hazil (Jerome). Semuanya kami diskusikan bersama selama empat bulan itu. Masing-masing dari kami mengembangkan karakternya sendiri, lalu kami tawarkan ke Mouly.

Sepanjang produksi, adakah adegan atau momen tertentu yang menurut Anda paling menguji kapasitas emosional atau teknis Anda sebagai aktor?

Ada salah satu unsur lagi untuk merekatkan hubungan pernikahan Fatimah dan Isa, yaitu melalui musik. Karena saya bermain piano klasik, dari kelas 1 SD sampai sekarang, dan yang memang lagu-lagu yang saya mainkan klasik, yang cukup rumit, kemudian Mouly tiba-tiba berkata, “Eh boleh nggak lo ikut main juga di film ini?,” (Ariel menjawab) "Oh oke boleh banget, mau main apa?" Oke , jadi saya diminta memainkan George Gershwin.

George Gershwin itu adalah seorang komposer—klasik, tapi bernuansa jazz. Cara memainkan jazz dari latar klasik itu sangat berbeda, dan cukup menantang buat saya pribadi. Tapi pada akhirnya, berhasil dilalui dengan baik—semoga. Dengan percaya dirinya, kami syuting di luar Jakarta. Sepanjang workshop, bahkan hingga mendekati akhir, kami baru memutuskan untuk menambahkan elemen piano itu.

Saya kemudian berlatih beberapa minggu, sudah cukup percaya diri, lalu kami syuting ke Semarang. Setelah itu saya belum berlatih lagi. Tiba-tiba, di set, saya bertemu dengan piano yang benar-benar antik. Dan ternyata, beberapa tuts-nya sudah tidak berfungsi. Jadi saya harus menyesuaikan diri dengan piano antik itu—yang luar biasa cantik, tapi juga sangat menantang. Namun begitu, piano itu cukup meninggalkan kesan untuk saya.

Berapa banyak lagu yang Anda mainkan dalam film ini?

Dua lagu. ‘Summertime’ dan ‘Rhapsody in Blue’ dari George Gershwin.

Selain piano, apakah ada alat musik lain yang Anda pelajari untuk keperluan film ini?

Di film ini ada alat musik biola, karena memang di bukunya pun mereka memainkan biola. Tapi yang lucu, karena syuting film ini, saya jadi belajar biola juga. Sempat coba main sendiri, karena Chicco dan Jerome sering membawa biola saat workshop. Kadang saya workshop di tempat yang sama, dan mereka sedang berlatih biola.

Karena saya memang sangat menyukai musik klasik, tapi selama ini merasa nggak mungkin membawa piano ke mana-mana. Nah, biola ini jadi alat musik yang ideal—bisa dibawa ke mana-mana, tapi tetap bisa dimainkan untuk musik klasik. Jadi akhirnya saya ikut bermain biola.

Biodata

Nama: Ariel Putri Tari

Lahir: 8 November 1996

Orang tua: Valentino Murry dan Mathilda Tatum

Debut film: Ariel dan Raja Langit (2005).

Pilihan Editor: Wawancara Mouly Surya: Di Balik Proses Syuting Perang Kota

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |