TEMPO.CO, Jakarta -- Wakil Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Wahfiudin Sakam Bahrum mengatakan, negara tidak boleh melibatkan diri dalam pengelolaan zakat umat Islam. Negara juga tidak boleh membiarkan terjadinya penyaluran zakat kepada pihak-pihak yang memiliki keterlibatan politik, baik lembaga maupun pribadi demi menjaga keadilan sosial.
“Negara tidak boleh melibatkan diri dalam pengelolaan ibadah zakat dalam umat Islam seperti halnya dalam pengelolaan keuangan keagamaan umat lain, misalnya persepuluhan dalam umat Nasrani,” ujar Wahfiudin di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat, 9 Mei 2025, seperti dikutip dari keterangan tertulis MK. Wahfiudin menjadi ahli yang dihadirkan pemohon Perkara Nomor 97/PUU-XXII/2024 dalam sidang pengujian sejumlah pasal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengeloaan Zakat di Mahkamah Konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, peran Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) semakin dominan setelah berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2011. Regulasi tersebut menambah kewenangan BAZNAS dalam ekosistem zakat, termasuk memberikan rekomendasi untuk penerbitan izin Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Wahfiudin menuturkan, keterlibatan negara dalam tata kelola zakat di negara-negara Islam tidak bersifat mutlak. Negara berlandaskan Islam berjumlah 19 negara, dan tiga negara di antaranya tidak ada peran negara dalam mengelola zakat, seperti Maroko, Tunisia, dan Afghanistan.
Beberapa negara yang tidak memposisikan dirinya sebagai negara Islam cenderung tidak ikut serta mengelola zakat meskipun penduduknya mayoritas Islam. Wahfiudin mencontohkan Turki, yang menyebut sebagai negara sekuler dalam konstitusinya dengan 98,14 persen penduduknya Muslim, tidak memiliki regulasi yang mengatur tata kelola zakat. “Negara tidak berperan sama sekali dalam tata kelola zakat, pengelolaan zakat dilakukan LAZ bentukan masyarakat,” ujarnya.
Menurut Wahfiudin, peran negara dalam tata kelola zakat di Indonesia penuh dengan ambiguitas. Ambiguitas ini muncul karena Indonesia bukan merupakan negara agama maupun negara sekuler yang membuat hasil komparasi tidak dapat diterapkan secara mudah. Dia menilai, kondisi ini membuat Indonesia perlu menghadirkan model tersendiri dengan tetap memperhatikan aspek sosiologis dan yuridis.
Ia menjelaskan, model tersendiri yang dimaksud dapat mencontoh negara-negara lain secara kasuistis tidak didasarkan pada tren yang ditemukan secara kuantitatif. Menurut dia, tidak banyak negara yang dapat dicontoh Indonesia karena bentuk sistem pemerintahan dan relasi negara-agama yang khas. “Relasi yang khas ini membuat Indonesia pada prinsipnya tidak dapat mencontoh salah satu model secara mutlak karena tidak sesuai dengan situasi sosiologis yang terjadi pada masyarakat dalam pengelolaan zakat,” ujarnya.
Menurut Wahfiudin, pengelolaan zakat di Indonesia memang memerlukan keterlibatan terbatas negara sebagai quality control atas kinerja LAZ. Namun negara tidak serta-merta ikut menghimpun dan mendistribusikan zakat.
Wahfiudin mengatakan negara bisa membuat LAZ tersendiri dengan catatan hanya bertindak sebagai operator zakat layaknya LAZ bentukan masyarakat. Adapun urusan regulator, pengawasan, dan auditor diserahkan kepada Kementerian Agama.
Permohonan uji materi dilayangkan Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Perkumpulan Forum Zakat Jakarta, serta perseorangan Arif Rahmadi Haryono sebagai pemohon. Para pemohon yang merupakan muzaki mengaku mengalami hambatan dan kerugian dalam kegiatannya karena adanya pengaturan tentang pengelolaan zakat dalam UU Pengelolaan Zakat.
Para pemohon melihat adanya Pasal 5 ayat (1) memperlihatkan tujuan utama pembentukan BAZNAS adalah mengambil alih pengumpulan zakat yang selama ini sudah dilakukan masyarakat untuk kemudian dikelola negara dan menegasikan sejarah pengelolaan masyarakat terhadap zakat. Padahal, kata pemohon, di saat BAZNAS baru dibentuk, dilakukan kerja sama pengelolaan zakat antara BAZNAS dan Yayasan Dompet Dhuafa Republika. Saat itu dikenal sebagai Baznas Dompet Dhuafa. Kerja sama tersebut terjadi karena BAZNAS belum memiliki pengalaman dalam bidang pengelolaan zakat.
Menurut para pemohon, ketentuan dalam UU Pengelolaan Zakat melupakan aspek historis dengan tidak melibatkan lembaga pengelola zakat yang suda ada sebelum berdirinya BAZNAS dalam merancang peraturan tentang pengelolaan zakat ini. “Undang-undang ini juga tidak memfasilitasi lembaga-lembaga pengelola zakat dari masyarakat,” kata pemohon.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 38 dan Pasal 43 ayat (4) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Para Pemohon juga memohon kepada Mahkamah untuk memaknai kembali Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 41, dan Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Pengelolaan Zakat sesuai dengan yang diinginkan pemohon.