TEMPO.CO, Jakarta - Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) menempatkan direksi dan komisaris perusahaan pelat merah itu bukan sebagai penyelenggara negara. Ini artinya Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK tidak bisa lagi campur tangan dalam penegakan hukum jika terjadi korupsi.
Pasal 3X undang-undang yang berlaku mulai Februari 2025 itu, menyebutkan bahwa Organ dan pegawai Badan bukan merupakan penyelenggara negara. Ditegaskan lagi di Pasal 9G: Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara pengawasan keuangan masih dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan seperti disebutkan dalam Pasal 3K: Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Badan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
KPK saat ini tengah mengkaji Undang-Undang BUMN ini dan membandingkannya dengan peraturan lain yang sudah berlaku di Tanah Air.
Anggota Tim Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan bahwa kajian tersebut dilakukan untuk menyikapi substansi UU BUMN yang menyatakan direksi maupun komisaris BUMN tidak termasuk sebagai penyelenggara negara.
“Dalam melakukan kajian tersebut, KPK tentu juga akan melihat peraturan dan ketentuan lainnya, seperti KUHAP, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Keuangan Negara, dan sebagainya,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin, 5 Mei 2025, seperti dikutip Antara.
Dalam Undang-undang KPK, disebutkan pada Pasal 11 ayat 1 bahwa Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Budi Prasetyo mengatakan bahwa UU BUMN dikaji untuk melihat kaitannya dengan tugas, fungsi, dan kewenangan KPK dalam memberantas korupsi melalui pendekatan pendidikan, pencegahan, dan penindakan.
Dengan demikian, kata dia, kajian yang dilakukan secara komprehensif dapat menghasilkan hasil yang objektif, terutama menyikapi perubahan status direksi maupun komisaris BUMN dalam UU BUMN terbaru.
“KPK memandang penting untuk melakukan intervensi-intervensi pencegahan korupsi, sehingga kami bisa betul-betul mendorong praktik-praktik bisnis yang berintegritas. Dengan demikian, kami bisa mendorong penciptaan iklim bisnis yang bersih,” katanya.
UU Nomor 1 Tahun 2025 merupakan peraturan perundang-undangan yang baru ditetapkan, dan berlaku sejak 24 Februari 2025. UU tersebut mengubah UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Kasus Dugaan Korupsi BUMN yang Ditangani KPK
Di antara perkara dugaan korupsi BUMN yang ditangani KPK adalah di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), PT Taspen (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. atau PGN (PGAS), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) serta PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).
Dalam kasus LPEI, KPK menilai bahwa terjadi benturan kepentingan antara Direktur LPEI dengan Debitur PT Petro Energy (PE) karena membuat kesepakatan awal untuk mempermudah proses pemberian kredit. PT PE diduga memalsukan dokumen purchase order dan involve yang menjadi underlying atas pencairan fasilitas yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Fasilitas kredit yang diberikan LPEI kepada PT PE telah merugikan negara dengan outstanding pokok KMKE 1 PT PE senilai UD 18.070.000. Sementara itu, kerugian negara untuk outstanding pokok KMKE 2 PT PE mencapai Rp 549.144.535.027. Bila dijumlahkan dalam mata uang rupiah, maka nilai tersebut mencapai sekitar Rp 891,305 miliar.
KPK sebelumnya telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus tersebut dari pihak swasta dan penyelenggara negara.
KPK menangani kasus dugaan korupsi yang menyeret Dirut Taspen Antonius Kosasih dan Direktur Utama PT Insight Investment Management (IIM) Ekiawan Heri Primaryanto karena investasi yang merugikan negara Rp80 miliar lebih.
Dalam kasus PGN, KPK menetapkan mantan Komisaris PT Inti Alisindo Energi (IAE) Iswan Ibrahim dan Direktur PT PGNDanny Praditya sebagai tersangka dugaan korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar US$ 15 juta atau setara Rp 252,2 miliar.
KPK sedang menyidik dugaan korupsi di PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Ferry Indonesia berupa kerugian hampir Rp 900 miliar dalam akuisi PT Jembatan Nusantara.