TEMPO.CO, Jakarta - Studi terbaru yang diterbitkan di Nature Reviews Earth & Environment mengungkap bahwa hidrogen alami yang dihasilkan oleh proses geologi selama miliaran tahun dapat menjadi sumber energi bersih yang sangat besar. Jumlah ini disebut cukup untuk memenuhi kebutuhan umat manusia selama setidaknya 170 ribu tahun.
Peneliti dari University of Oxford, Durham University, dan University of Toronto menemukan bahwa kerak benua Bumi telah menghasilkan hidrogen dalam jumlah besar selama satu miliar tahun terakhir. Meski sebagian besar hidrogen tersebut telah dikonsumsi mikroba atau bocor ke atmosfer, sisanya diyakini masih dapat ditemukan dalam bentuk akumulasi yang bisa diekstraksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu penulis studi, Jon Gluyas dari Durham University, mengatakan bahwa mereka telah berhasil mengembangkan strategi eksplorasi untuk helium, dan pendekatan serupa berbasis prinsip dasar juga bisa diterapkan untuk hidrogen.
Hidrogen di kerak Bumi terbentuk melalui berbagai reaksi, termasuk serpentinisasi—reaksi antara air dan mineral kaya besi yang menghasilkan hidrogen molekuler. Proses lainnya adalah radiolisis, di mana peluruhan uranium memecah molekul air, serta pematangan serpih organik yang menghasilkan hidrogen bersamaan dengan hidrokarbon.
Setelah terbentuk, hidrogen akan bermigrasi melalui retakan dan batuan berpori hingga tertahan oleh perangkap geologis. Namun, karena ukuran molekulnya yang kecil, menjaga agar hidrogen tetap tertahan dalam waktu geologis membutuhkan segel yang sangat rapat. Selain itu, keberadaan mikroba juga menjadi ancaman bagi keberlangsungan akumulasi tersebut.
“Kami tahu, misalnya, bahwa mikroba bawah tanah dengan mudah mengonsumsi hidrogen,” kata Barbara Sherwood Lollar dari University of Toronto, dikutip dari laporan Earth.com, Kamis, 22 Mei 2025. “Menghindari lingkungan yang memungkinkan mereka bersentuhan dengan hidrogen sangat penting untuk menjaga akumulasi hidrogen dalam jumlah yang bernilai ekonomi.”
Studi ini juga menepis anggapan bahwa hidrogen dari mantel Bumi merupakan sumber utama. Analisis menunjukkan bahwa sebagian besar akumulasi hidrogen berasal dari batuan kerak, bukan dari sumber dalam seperti pluma mantel.
Berbagai lokasi kerak yang dianggap potensial untuk menyimpan hidrogen, antara lain perisai kratonik kuno, cekungan rift muda, sabuk vulkanik kaya besi, dan cekungan sedimen berpatahan. Beberapa sistem diketahui menghasilkan hidrogen dalam beberapa juta tahun terakhir, sementara lainnya berusia ratusan juta tahun.
Beberapa kejadian penemuan hidrogen secara tidak sengaja telah tercatat, seperti di sumur air di Bourakébougou, Mali, yang pada 2012 memancarkan gas dengan kandungan hidrogen 98 persen. Kasus serupa terjadi di Kansas, Australia Selatan, dan wilayah Pyrenees.
Chris Ballentine dari University of Oxford, yang memimpin studi ini, menjelaskan pentingnya pendekatan multidisiplin dalam eksplorasi hidrogen, termasuk geofisika, geokimia, mikrobiologi, dan rekayasa reservoir. “Menggabungkan bahan-bahan untuk menemukan akumulasi hidrogen di lingkungan-lingkungan ini bisa diibaratkan seperti memasak soufflé —jika salah satu bahan, takaran, waktu, atau suhunya tidak tepat, hasilnya akan mengecewakan.”
“Satu resep eksplorasi yang berhasil dan bisa diulang akan membuka sumber hidrogen rendah karbon yang kompetitif secara komersial dan dapat memberikan kontribusi besar dalam transisi energi,” katanya melanjutkan.
Sebagai tindak lanjut, tim peneliti membentuk perusahaan Snowfox Discovery Ltd. untuk mengidentifikasi ladang hidrogen yang signifikan secara sosial. Prioritas awal mereka meliputi pemetaan sabuk batuan kaya besi yang bersentuhan dengan air tanah dalam, mempelajari laju konsumsi hidrogen oleh mikroba, dan menguji kekuatan lapisan penahan gas.
Jika berhasil, hidrogen alami dapat menjadi sumber energi rendah karbon yang menjembatani hidrogen biru dan hijau dalam masa transisi energi, dengan tetap memperhatikan risiko lingkungan.