TEMPO.CO, Jakarta - Ketidakpastian ekonomi global kembali mengguncang pasar keuangan Indonesia. Setelah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga delapan persen pada Selasa pagi, 8 April 2025, kini ancaman pelemahan nilai tukar rupiah kian nyata. Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksa menghentikan sementara perdagangan atau trading halt pada pukul 09.00 guna meredam kepanikan pasar.
“Tindakan ini dilakukan karena terdapat penurunan IHSG yang mencapai 8 persen,” ujar Sekretaris Perusahaan BEI, Kautsar Primadi Nurahmad dalam keterangan tertulis. Kemudian BEI kembali membuka perdagangan pada pukul 09.30.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah penghentian sementara tersebut diambil berdasarkan Peraturan Nomor II-A tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas, serta Surat Keputusan Direksi BEI Nomor Kep-00002/BEI/04-2025 yang baru saja diterbitkan dan langsung efektif berlaku hari ini.
Kautsar menekankan bahwa penyesuaian kebijakan ini adalah bagian dari upaya menjaga perdagangan saham agar tetap berjalan secara teratur, wajar, dan efisien, terutama di tengah kondisi pasar yang bergejolak.
Penyesuaian juga dilakukan terhadap batasan persentase Auto Rejection Bawah (ARB), sebagai tindak lanjut dari Surat Keputusan Direksi Bursa sebelumnya, yakni Kep-00196/BEI/12-2024 dan Kep-00024/BEI/03-2020 tentang penanganan perdagangan dalam kondisi darurat.
Namun badai di pasar modal belum reda. Nilai tukar rupiah yang dibuka di pasar Jakarta pada Selasa pagi turut melemah sebesar 24 poin atau 0,14 persen menjadi Rp16.846 per dolar AS. Bahkan di pasar non-deliverable forward (NDF), rupiah sempat menembus level psikologis Rp17.000 per dolar selama masa libur Lebaran.
“Penguatan dolar terjadi karena beberapa faktor fundamental, seperti data ketenagakerjaan AS yang lebih baik dari ekspektasi,” ungkap analis pasar uang Ibrahim Assuabi. Ia menambahkan bahwa pernyataan Bank Sentral AS (The Fed) pada Jumat malam juga turut memperburuk tekanan terhadap rupiah. Dalam testimoninya, The Fed menyiratkan bahwa penurunan suku bunga tidak akan dilakukan dalam waktu dekat, menyusul masih tingginya inflasi global dan dampak lanjutan dari perang dagang.
Ibrahim menyebut, prediksi awal mengenai pemangkasan suku bunga sebanyak tiga kali sepanjang 2025, atau setara 75 basis poin, kini tampaknya tinggal mimpi. Akibatnya, indeks dolar kembali menguat secara signifikan, menekan mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Situasi makin kompleks setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menggulirkan kebijakan tarif impor timbal balik (reciprocal tariffs) yang menyasar banyak negara, termasuk Indonesia. Produk asal Indonesia kini dikenakan bea impor sebesar 32 persen oleh AS. Namun, respons pemerintah Indonesia yang memilih jalur negosiasi ketimbang aksi balasan, dinilai sejumlah analis sebagai kelemahan dalam diplomasi perdagangan.
“Seharusnya Indonesia memberikan bea impor balasan terhadap produk-produk dari Amerika, tapi kenyataannya tidak,” kata Ibrahim.
Belum lagi, ketegangan geopolitik yang meningkat di Timur Tengah turut memperbesar tekanan pada rupiah. Meski Bank Indonesia telah mengupayakan stabilisasi melalui kebijakan triple intervention mencakup intervensi di pasar spot, DNDF, dan pembelian Surat Berharga Negara di pasar sekunder efektivitasnya masih dipertanyakan.
“Intervensi BI mungkin tidak cukup kuat. Ada potensi rupiah menembus Rp17.050 per dolar pada awal pekan depan,” kata Ibrahim.
Linda Lestari, Ilona Estherina, dan Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.