TEMPO.CO, Jakarta - Pemimpin sayap kanan Prancis, Marine Le Pen, dijatuhi hukuman empat tahun penjara dalam kasus penggelapan dana pada Senin, 31 Maret 2025. Putusan ini juga melarangnya mencalonkan diri untuk jabatan publik selama lima tahun, menggagalkan ambisinya untuk berlaga dalam pemilihan presiden Prancis 2027. Meski begitu, Le Pen masih memiliki opsi mengajukan banding.
Pengadilan Paris menghukum Le Pen dengan empat tahun penjara, di mana dua tahun diantaranya bersifat percobaan, sementara dua tahun lainnya akan dijalani sebagai tahanan rumah. Selain itu, ia diwajibkan membayar denda sebesar 100.000 euro atau sekitar Rp 1,7 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Larangan pencalonannya mulai berlaku segera, kecuali jika bandingnya dikabulkan sebelum pemilu. Meskipun hukuman ini tidak mengharuskannya mendekam di balik jeruji besi, tetap sukses menjadi pukulan telak bagi karier politiknya.
Profil Marine Le Pen
Berikut profil dari Pemimpin Sayap Kanan Prancis Marine Le pen.
Dilansir dari laman Anewz TV, Marine Le Pen lahir dengan nama Marion Anne Perrine Le Pen pada 5 Agustus 1968 di Neuilly-sur-Seine, Prancis. Dirinya merupakan seorang politisi sayap kanan yang dikenal luas di Eropa. Ia merupakan putri bungsu Jean-Marie Le Pen, pendiri Front Nasional, partai berhaluan ekstrem kanan yang kemudian berganti nama menjadi Rassemblement National (National Rally). Sejak kecil, Le Pen sudah akrab dengan dunia politik karena sering menemani ayahnya dalam berbagai kampanye dan pertemuan partai.
Le Pen menempuh pendidikan hukum di Universitas Pantheon-Assas, Paris, dan sempat bekerja sebagai pengacara sebelum bergabung dengan partai ayahnya pada 1998 sebagai penasihat hukum. Kemampuannya dalam berbicara di depan publik dan mengartikulasikan kebijakan partai membuatnya naik ke posisi strategis dalam organisasi tersebut.
Kepemimpinan di National Rally
Pada 2011, Marine Le Pen menggantikan ayahnya sebagai pemimpin partai dan berupaya memperhalus citra partai yang selama ini dikenal rasis dan anti-Semit. Di bawah kepemimpinannya, National Rally berusaha menarik pemilih yang lebih luas dengan tetap mempertahankan kebijakan nasionalisme dan anti-imigrasi.
Le Pen tiga kali mencalonkan diri dalam pemilihan presiden Prancis, yaitu pada 2012, 2017, dan 2022. Meskipun tidak pernah menang, raihan suaranya terus meningkat, menunjukkan bahwa pengaruh politiknya semakin besar. Pada pemilu 2022, ia meraih lebih dari 40 persen suara, hasil terbaik bagi kandidat National Rally dalam sejarah.
Kebijakan dan Posisi Politik
Dikutip dari laman CNN, Marine Le Pen tetap setia pada agenda nasionalisme ekonomi dan politik isolasionis. Ia mendukung pengurangan drastis imigrasi ke Prancis, membatasi akses imigran terhadap layanan sosial, serta menekankan perlindungan terhadap pekerja lokal. Le Pen juga pernah mengusulkan referendum mengenai keanggotaan Prancis di Uni Eropa, mirip dengan Brexit di Inggris.
Di panggung internasional, Le Pen mendukung hubungan yang lebih erat dengan Rusia dan pernah menerima pinjaman dari bank Rusia untuk mendanai kampanyenya. Kedekatannya dengan kelompok sayap kanan global juga terlihat dalam pertemuannya dengan Donald Trump sebelum pelantikannya sebagai presiden Amerika Serikat.
Kontroversi dan Masalah Hukum
Le Pen kerap terlibat dalam berbagai kontroversi. Salah satu yang paling mencuat adalah investigasi oleh European Anti-Fraud Office terkait dugaan penyalahgunaan dana Parlemen Eropa selama masa jabatannya sebagai anggota parlemen. Ia dituduh menggunakan dana tersebut untuk membayar staf partai, bukan untuk kepentingan legislatif.
Puncaknya, pada 31 Maret 2025, pengadilan Prancis memvonis Le Pen bersalah dalam kasus penggelapan dana Uni Eropa. Ia dihukum empat tahun penjara dengan dua tahun di antaranya ditangguhkan serta denda sebesar 100 ribu euro. Selain itu, ia dilarang menduduki jabatan publik selama lima tahun yang membuatnya kehilangan peluang mencalonkan diri dalam pemilu presiden 2027.
Modus Penggelapan Dana
Menurut laporan CNN, Marine Le Pen dan lebih dari 20 anggota partainya, National Rally (RN), terbukti melakukan penggelapan dana Parlemen Eropa dengan cara mempekerjakan staf partai menggunakan anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi asisten parlemen. Dalam putusan pengadilan, terungkap bahwa Le Pen secara ilegal menggunakan dana tersebut untuk menggaji empat pegawai partainya, termasuk asisten pribadi dan pengawal pribadinya.
Dana yang digelontorkan dari Parlemen Eropa ini seharusnya hanya digunakan untuk mendukung tugas-tugas legislatif di tingkat Uni Eropa. Namun, dalam praktiknya, Le Pen dan partainya justru mengalokasikan dana tersebut untuk kepentingan internal RN di Prancis. Pengadilan menemukan bahwa selama lebih dari 11 tahun, skema ini telah menyebabkan penyalahgunaan dana publik lebih dari €4 juta (sekitar Rp71,7 miliar).
Meskipun menghadapi larangan berpolitik, Le Pen masih memiliki pengaruh besar dalam partainya. Para pendukungnya melihatnya sebagai korban persekusi politik, sementara para penentangnya menganggap vonis tersebut sebagai bukti kebobrokan partainya.
Dewi Rina Cahyani berkontribusi dalam penulisan artikel ini.