Perbedaan Cara BPS dan Bank Dunia Mengukur Kemiskinan di Indonesia

14 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Bright Institute Awalil Rizky membandingkan cara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia dalam mengukur tingkat kemiskinan. Menurut Awalil, pendekatan BPS lebih bisa menggambarkan kondisi Indonesia. Sedangkan ukuran pendekatan Bank Dunia menurutnya lebih berguna untuk melihat perbandingan antarnegara. “Tentu saja, ukuran BPS masih perlu diperbaiki dan kemungkinan memang (garis kemiskinan) perlu lebih tinggi dari saat ini,” kata dia dalam keterangan tertulis pada Sabtu, 3 Mei 2025.

Perbaikan yang dimaksud Awalil adalah evaluasi atas hasil penghitungan BPS yang mencakup meta data, pelaksanaan survei, dan pengolahan data. Senada dengan Awalil, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Wisnu Nugroho mengatakan BPS perlu memperbaiki garis kemiskinan agar lebih sesuai dengan kondisi saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Wisnu, selama ini, BPS mengukur kemiskinan berdasarkan cost of basic needs atau kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar terdiri dari kebutuhan minimum 2.100 kilokalori dan kebutuhan minimum non-makanan seperti perumahan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan. Komponen komoditas ini sudah digunakan sejak 1998.

Wisnu berpendapat BPS perlu menambah pengeluaran untuk komotidas yang sebelumnya tidak ada pada 1998. Misalnya, komponen makanan 2.100 kilokalori seharusnya bisa disesuaikan dengan pedoman gizi seimbang dari Kementerian Kesehatan. “Selama ini pemenuhan 2100 kilokalori yang jadi garis kemiskinan masih didominasi makanan pokok dan makanan yang tidak esensial bagi kesehatan,” ucap Wisnu.

Di sisi lain, Wisnu menilai metode Bank Dunia menggunakan purchasing power parity (PPP) untuk mengukur kemiskinan juga menyimpan masalah. Sebab, ada perbedaan preferensi dan harga pasar di setiap negara. Sehingga, meski bisa menggambarkan perbandingan global, data Bank Dunia tidak bisa menggambarkan aspek lokalitas dari masing-masing negara.

Dalam laporan Macro Poverty Outlook yang dirilis April 2025, Bank Dunia melaporkan 60,3 persen masyarakat Indonesia tinggal di bawah garis kemiskinan atau setara 171,8 juta jiwa. Sedangkan data BPS menyebut tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 adalah sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.

Angka 60,3 persen dalam laporan Bank Dunia berasal dari penghitungan PPP sebesar US$6,85 per kapita per hari untuk negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income). Menurut Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, perbedaan data tersebut karena ada perbedaan standar garis kemiskinan untuk tujuan yang berbeda.

Amalia mengklaim garis kemiskinan yang dihitung BPS mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. “Garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat,” ucap Amalia dalam keterangan resmi pada Jumat, 2 Mei 2025.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |