Pakar Politik UGM Jabarkan Tujuan Pembentukan Daerah Istimewa

16 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Isu mengenai pembentukan daerah istimewa dan daerah otorita baru di Indonesia menyeruak hingga menjadi perbincangan publik. Terkait isu tersebut, pakar Politik dan Pemerintahan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Gaffar Karim mengatakan bahwa kebijakan pemerintah, termasuk pembentukan daerah baru, harus berdasarkan pada tujuan besar mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Bagi Gaffar, jika tujuan pembentukan daerah istimewa baru tidak berlandaskan pada kesejahteraan rakyat, maka usulan tersebut diabaikan saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Apapun langkah yang mau dilakukan, ini mendukung upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat atau tidak? Kalau tidak, tidak perlu dilakukan,” katanya, dikutip dari laman resmi Universitas Gadjah Mada, pada Sabtu 3 Mei 2025.

Kesejahteraan Rakyat Harus Jadi Tujuan Pembentukan Daerah Baru

Gaffar menjelaskan salah satu kunci tercapainya kesejahteraan adalah pemerintah yang efektif. Dosen UGM itu mengatakan pembentukan daerah istimewa atau otorita baru hanya akan berguna apabila benar-benar berhasil mendorong efektivitas pemerintah. 

“Kalau sekadar untuk memudahkan sirkulasi elite dan mengatur kekuasaan, menurut saya tidak ada gunanya,” katanya.

Menurut Gaffar, jika tidak ada peninjauan yang dalam terkait pembentukan daerah istimewa baru, maka agenda pembangunan tersebut berisiko hanya akan menjadi kendaraan politik elite. “Yang terjadi nanti rakyat tidak kunjung sejahtera, malah elit politik yang sejahtera. Ketimpangan sosial malah makin lebar.”

Gaffar mengatakan argumen terkait daerah bekas kerajaan layak diangkat menjadi daerah istimewa merupakan pendapat yang tidak cukup kuat. Sisi historis, menurut Gaffar, tidak menjadikan pembentukan daerah baru sebagai suatu keharusan, namun harus dari sisi urgensi.

Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta

Gaffar mencontohkan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wilayah yang memiliki historis dan struktur pemerintahan kerajaan yang utuh. Tidak seperti daerah lain yang hanya menyisakan sejarah, Di Yogyakarta masih memiliki raja, istana, wilayah, sistem politik, prajurit, dan lainnya. 

“Kalau daerah lain, tinggal sejarahnya saja. Struktur pemerintahannya sudah tidak lengkap. Jadi argumen itu sangat lemah,” kata Gaffar.

Gaffar menyoroti daerah istimewa di Indonesia selama ini lahir karena faktor sejarah khusus dan urgensi, seperti DI Yogyakarta dengan perannya dalam mendukung kemerdekaan Indonesia, Aceh dengan sejarah konfliknya, atau DKI Jakarta dengan status ibu kota negara yang dimilikinya. Daerah-daerah tersebut, kata Gaffar, diberikan kewenangan khusus, seperti fleksibilitas urusan pertanahan di DIY, legalnya partai lokal di Aceh, dan spesialnya tata kelola kabupaten atau kota di DKI Jakarta.

Saat ini, Indonesia secara umum menganut sistem pemerintahan daerah yang seragam walaupun Gaffar memahami bila kondisi sosial-budaya di setiap daerah cukup beragam. Gaffar menilai negara sudah sepatutnya merancang sistem otonomi daerah yang asimetris, yakni setiap daerah diberi kekuasaan untuk mengatur pemerintahan sesuai dengan karakteristik masing-masing.

Untuk itu, Gaffar mendorong pemerintah untuk berhenti menggunakan pendekatan parsial dan tambal sulam dalam mengatur daerah. Gaffar mengatakan, “Kalau otonomi daerah tidak seragam, setiap daerah jadi istimewa. Tidak perlu lagi pembicaraan soal daerah khusus,” ucapnya.

Sebaliknya, Gaffar meminta agar pemerintah harus merancang sistem pemerintah daerah di Indonesia secara menyeluruh. “Kalau memang mau dibuat rancangan yang lebih efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pikirkan keseluruhan daerah. Buatlah rancangan yang tidak seragam dan yang tidak simetris,” ujarnya.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |