Kontroversi Rencana TNI Memproduksi dan Mendistribusikan Obat

6 hours ago 1

MENTERI Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin mengungkapkan rencana revitalisasi laboratorium farmasi yang ada di TNI. Dia mengatakan nantinya TNI bakal memproduksi obat-obatan melalui pabrik obat pertahanan negara.

Rencana TNI memproduksi obat untuk masyarakat ini, kata Menhan, timbul lantaran harga obat di Indonesia yang mahal. “Sehingga nanti produksi obat yang akan kami kerjakan bisa kami sumbangkan kepada rakyat Indonesia,” kata Sjafrie dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR pada Rabu, 30 April 2025.

Sjafrie menyebutkan TNI akan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk memproduksi obat-obatan itu. Dia juga menuturkan akan menggandeng Koperasi Desa Merah Putih untuk menyuplai obat yang diproduksi TNI. “Dengan adanya koperasi desa yang dibentuk, maka apotek-apoteknya kami suplai dari obat yang kami buat di pabrik terpusat,” ujarnya.

Tugas TNI memproduksi obat-obatan telah diatur dalam Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 10 Tahun 2014. Regulasi itu mengatur tentang standardisasi peralatan kesehatan lembaga farmasi milik TNI.

Setidaknya ada enam tugas yang menjadi kewenangan militer dalam konteks lembaga farmasi di peraturan menteri itu. Di antaranya, produksi, pengawasan mutu, penyimpanan, pemeliharaan, penelitian dan pengembangan, serta tugas pendidikan maupun latihan. Namun, dalam peraturan itu, tidak ada tugas bagi TNI mendistribusikan obat yang diproduksinya melalui lembaga farmasi militer.

Rencana TNI memproduksi dan mendistribusikan obat tersebut mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Ada yang mendukung, ada pula yang tidak sepakat.

BPOM: Siapa Pun Boleh Produksi Obat selama Penuhi Persyaratan

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar mengatakan pihaknya mendukung penuh rencana TNI turut memproduksi dan mendistribusikan obat-obatan.

Ikrar menuturkan dia bahkan akan segera menggelar pertemuan dengan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin untuk membahas kerja sama dalam program ini. “Kami sangat mendukung. Besok kan Menteri Pertahanan akan bertemu kami di sini,” ujar Ikrar saat ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis, 15 Mei 2025.

Dia menyebutkan siapa pun boleh memproduksi obat selama memenuhi persyaratan dan sesuai dengan prosedur, termasuk dalam hal ini perusahaan milik lembaga militer. Dia membandingkan rencana Kementerian Pertahanan (Kemenhan) ini dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ikut memproduksi obat melalui anak usahanya, Bio Farma. “Jadi sebetulnya intinya enggak ada masalah. Itu hal yang general aja,” kata Ikrar.

Meski nantinya produksi obat ini akan digarap oleh Kementerian Pertahanan, Ikrar memastikan BPOM akan tetap bisa melaksanakan perannya dengan baik sebagai pihak yang mengawasi. “Pasti, BPOM akan mengawasi secara maksimal karena itu menjadi otoritas dan tanggung jawab kami,” tuturnya.

Anggota DPR Wanti-wanti Rencana TNI Harus Diawasi Ketat

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Amelia Anggraini menanggapi rencana TNI yang ingin memproduksi obat-obatan melalui laboratorium farmasi untuk disuplai ke Koperasi Desa Merah Putih. Menurut dia, rencana itu harus dipastikan telah matang secara implementasi dan pengawasannya. “Yang perlu diperhatikan adalah pengawasan ketat sesuai standar yang ditentukan BPOM,” katanya saat dihubungi pada Ahad, 4 Mei 2025.

Politikus Partai NasDem ini menuturkan Kemenhan juga perlu memperhatikan kesiapan infrastruktur bagi militer sebelum memproduksi obat-obatan. Termasuk ketersediaan bahan bakunya.

Amelia mengatakan TNI telah memiliki lembaga farmasi yang selama ini digunakan mendukung kebutuhan kesehatan di lingkungan internal TNI. Dia menilai fasilitas kesehatan yang dimiliki institusi pertahanan Indonesia punya kelebihan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Dia mengapresiasi rencana pengembangan farmasi milik TNI tersebut. “Langkah ini sejalan dengan tujuan pemerintah, yaitu menyejahterakan masyarakat lewat kesehatan,” ucapnya.

Dikhawatirkan Ganggu Pelaku Usaha Farmasi

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengkhawatirkan rencana TNI memproduksi dan mendistribusikan obat-obatan akan berdampak pada ekosistem industri farmasi nasional.

“Jangan sampai kehadiran lembaga militer dalam produksi dan distribusi obat malah mematikan pelaku usaha,” kata dia saat dihubungi pada Ahad, 4 Mei 2025.

Fahmi berujar pelaku usaha di bidang farmasi, selama ini, telah tunduk pada regulasi ketat dan mekanisme pasar. Karena itu, Fahmi mengimbau adanya intervensi dari negara untuk meminimalkan kekhawatiran itu. “Intervensi negara sebaiknya bersifat korektif dan melengkapi, bukan menggantikan fungsi aktor yang sah secara struktural,” ucapnya.

Dia juga turut menyoroti perihal keinginan pemerintah menggandeng Koperasi Desa Merah Putih untuk mendistribusikan obat produksi tentara. Menurut dia, perlu ada penjelasan yang transparan ihwal skema dan tujuannya agar tidak menimbulkan keraguan publik. “Apakah ini sepenuhnya bentuk intervensi sosial atau justru membuka ruang komersialisasi terselubung?” kata Fahmi.

Di sisi lain, dia mengatakan rencana Kemenhan agar TNI memproduksi obat-obatan ini sebagai bentuk keterlibatan negara yang sah. Khususnya untuk menjawab kebutuhan masyarakat terhadap ketersediaan obat murah ataupun gratis. “Dalam konteks harga obat yang tinggi dan belum meratanya distribusi, inisiatif ini dapat menjadi solusi jangka menengah,” ucapnya.

Apalagi, kata Fahmi, bila rencana kebijakan ini difokuskan pada penguatan akses kesehatan dasar di wilayah yang sulit dijangkau. Namun dia mewanti-wanti agar program ini tidak diarahkan untuk mencari keuntungan dan tetap berfokus pada pelayanan publik. “Saya kira ini masih selaras dengan prinsip profesionalisme TNI,” ujar dia.

Novali Panji Nugroho dan Dede Leni Mardianti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Desain Ulang Gudang Amunisi TNI Setelah Ledakan Garut

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |