Ini Pasal-Pasal UU TNI yang Digugat ke Mahkamah Konstitusi

2 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Berbagai lapisan masyarakat saat ini ramai-ramai menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang disahkan oleh DPR dalam sidang paripurna pada 20 Maret 2025. 

Ada 14 pihak yang menggugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi. Beberapa di antaranya seperti putri Presiden Abdurrahman Wahid, mantan Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti, seorang mahasiswa bernama Eva yang mewakili Koalisi Masyarakat Sipil. Selain itu, empat mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM) dan lima mahasiswa FH Universitas Padjajaran (Unpad) juga mengajukan permohonan uji formil UU TNI ke MK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasal Problematik

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Kontras, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan Imparsial mempersoalkan pasal 7 dalam UU TNI. Menurut Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad, pasal 7 dalam UU TNI mengenai penambahan operasi militer selain perang dapat menghidupkan dwifungsi militer. “Kalau tidak, dwifungsi bisa kembali bangkit,” kata Hussein. 

Kuasa hukum koalisi sipil sekaligus Manajer Program Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Viola Reininda, menyebutkan, pembahasan RUU TNI melanggar prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan yaitu surat presiden membahas revisi UU TNI keluar lebih dahulu sebelum didaftarkan dalam Prolegnas 2025.

Selain itu menurut Viola, UU TNI juga mengkhianati janji reformasi yaitu menghapuskan dwifungsi militer. Perwakilan Kontras, Fatia Maulidiyanti, juga mengamini hal yang sama. Lebih lanjut Fatia mengkhawatirkan situasi sipil jika militer masuk pada ranah sipil, contohnya adalah proyek strategis nasional dan konflik Papua. “Kami takut bila terus dilaksanakan, situasi akan semakin buruk,” tutur Fatia.

Sementara, empat mahasiswa FH UGM yang terdiri dari Muhammad Imam Maulana, Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban, Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar, dan Ursula Lara Pagitta Tarigan menilai isi dan substansi UU TNI problematik dan justru merugikan rakyat sipil. Mereka mempersoalkan tiga pasal problematik antara lain pasal 7 ayat 2 angka 9, pasal 7 ayat 2 angka 15, dan pasal 47 ayat 1 UU TNI.

Menurut Imam, letak permasalahan Pasal 7 ayat 2 angka 9 yang membahas tugas pokok TNI di operasi militer selain perang, dalam membantu tugas pemerintahan di daerah, ada pada memperluas kewenangan tentara untuk tugas-tugas di luar fungsi pertahanan. “Mengatasi masalah akibat pemogokan tidak dapat dikategorikan sebagai ancaman atau urusan kewenangan TNI,” ujar Imam pada keterangan tertulis dikutip dari Tempo.

Selanjutnya, frasa “membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber” pada pasal 7 ayat 2 angka 15 memiliki makna multitafsir sehingga tercipta ketidakpastian. "Kami tidak mengetahui secara pasti batasan dan sejauh mana keterlibatan TNI diperbolehkan dalam ranah siber,” lanjut Imam.

Terakhir, pada pasal 47 ayat 1 UU TNI yang mengatur tentang perluasan tentara dalam kementerian atau lembaga sipil memperbesar potensi kembalinya dwifungsi militer dan mengkhianati janji reformasi. Selain itu dalam pasal ini tidak ada kepastian hukum mekanisme dan pertanggungjawaban kerja prajurit aktif di jabatan sipil.

Sedangkan mahasiswa FH Unpad mengajukan permohonan uji formil UU TNI ke Mahkamah Konstituso dan teregistrasi dengan nomor 73/PUU/PAN.MK/AP3/04/2025 pada Selasa, 29 April 2025.

Enam mahasiswa Batam beserta empat kuasa hukumnya juga akan mengajukan uji materiil terhadap UU TNI ke Mahkamah Konstitusi dan telah menerima Akta Pengajuan Pemohon Nomor 68/PUU/PAN.MK/AP3/04/2025 dan Akta Registrasi Perkara Konstitusi Nomor 58/PUU/PAN.MK/ARPK/04/2025.

Selain meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan UU TNI tidak konstitusional, para pemohon menuntut ganti rugi sebesar Rp 50 miliar dari DPR, Rp 25 miliar dari presiden, dan Rp 5 miliar dari Badan Legislasi DPR untuk disetor ke kas negara. Selain itu, mereka mengajukan dwangsom atau uang paksa setiap hari jika putusan Mahkamah Konstitusi tidak dilaksanakan, masing-masing sebesar Rp 25 miliar untuk DPR, Rp 12.5 miliar untuk presiden, dan Rp 25 miliar untuk Baleg DPR.

Sapto Yunus dan Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: MK Kabulkan Pencabutan Gugatan Uji Materi UU TNI Guru Besar Unhan

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |