TEMPO.CO, Surabaya - Kota Surabaya memperingati hari jadinya yang ke-732 pada Sabtu ini, 31 Mei 2025. Tanggal 31 Mei yang diambil sebagai penanda ulang tahun Surabaya mengacu pada peristiwa kemenangan perang prajurit Majapahit melawan bala tentara Tartar (Mongol) pada 31 Mei 1293 di Ujung Galuh. Peristiwa heroik ini dinilai cocok dengan jiwa serta semangat Arek-arek Surabaya yang dikenal pemberani.
Penetapan 31 Mei 1293 sebagai hari jadi Kota Surabaya sendiri diputuskan oleh Wali Kota Surabaya Soeparno pada 1975. Sebelum menetapkan tanggal tersebut, Soeparno telah membentuk tim untuk mengkaji sejarah hari jadi kota yang dipimpinnya kala itu. Tim pengkaji sejarah bekerja mulai 1973 sampai 1975.
Selanjutnya pada tahun itu pula Kota Madya Surabaya menerbitkan buku berjudul Hari Jadi Kota Surabaya , 682 Tahun Sura ing Baya. Namun peristiwa kemenangan Majapahit atas Mongol di Ujung Galuh pada 31 Mei 1293 sebagai dasar penetapan hari jadi tersebut, masih menjadi perdebatan di kalangan para pengkaji sejarah. Ujung Galuh sebagai nama tempat dinilai belum fix berada Surabaya.
Pemerhati sejarah Surabaya, T.P. Wijoyo, menuturkan nama Ujung Galuh muncul pertama kali dalam prasasti Kamalagyan pada zaman Raja Airlangga. Prasasti batu yang berada di dekat Krian, Kabupaten Sidoarjo, ini berangka tahun 1037 Masehi. Prasasti tersebut berkaitan dengan kebijakan Airlangga membangun sebuah dawuhan.
“Dawuhan ini bisa diartikan sebagai bendungan atau tanggul, karena waktu itu ada laporan warga bahwa beberapa desa sering dilanda banjir. Airlangga lalu membangun dawuhan di Waringin Sapta,” kata Wijoyo, Jumat, 30 Mei 2025.
Warga Waringin Sapta selanjutnya diberi hak sima oleh Airlangga sebagai hadiah untuk menjaga dawuhan itu. Setelah pembangunan dawuhan selesai, tertulis dalam prasasti itu kalimat “Maparahu samanghulu mangalap banda ring hujung galuh tka” (berperahu menuju ke hulu untuk mengambil harta benda di Ujung Galuh).
Menurut Wijoyo letak persis Ujung Galuh dalam prasasti Kamalagyan belum gamblang. Berdasarkan laporan jurnal Belanda serta jejak arkeologis yang ia pelajari, sampai sejauh ini setidaknya ada delapan terori yang diduga sebagai letak Ujung Galuh.
“Memang salah satunya ada yang mengatakan Ujung Galuh itu di Surabaya, namun ada juga yang mengatakan tidak jauh dari Surabaya, yakni di Gresik,” tutur dia.
Ujung Galuh di Surabaya, kata dia, mengacu pada Galuhan, sebuah nama kampung di Kecamatan Bubutan. Ada pula nama kampung Ujung di dekat Tanjung Perak. Namun Wijoyo meragukan karena Tanjung Perak merupakan pelabuhan baru.
Bahkan, kata Wijoyo, ada juga yang menyamakan Ujung Galuh dengan Megaluh, sebuah nama kecamatan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Sementara teori lain menyatakan Ujung Galuh berada di hilir Sungai Porong hingga ke Bangil, Kabupaten Pasuruan.
Peneliti sejarah Surabaya, Nanang Purwono, mengatakan Jalan Galuhan, Surabaya merupakan nama baru. Nama itu sebagai pengganti nama jalan yang masih berbau Belanda pada 1950. Sebelum menjadi Jalan Galuhan, tempat itu bernama Jan Van Der Heidenstraat. Adapun Lapangan Galuhan yang juga berada di tempat itu, dulunya bernama Larentplein. “Jelas bahwa Jalan Galuhan dan Lapangan Galuhan bukan toponimi dari nama Ujung Galuh,” tutur Nanang.
Anehnya, menurut Wijoyo, di masa Majapahit (1293-1500 ’an), atau 200 tahun setelah era Raja Airlangga, tak ditemukan satu pun prasasti, kidung atau pun kakawin yang menyebutkan nama Ujung Galuh. Hanya muncul nama yang mirip Ujung Galuh di Pararaton, yakni ketika Raja Kediri Jayakatwang ditawan oleh tentara Mongol dan dibawa ke Jung Galuh. “Apakah Jung Galuh dalam Pararaton ini sama dengan Ujung Galuh di prasasti Kamalagyan, masih perlu dipastikan lagi,” ujar Wijoyo.
Namun dalam prasasti Masahar yang ditemukan di Suko, Mojokerto, belum lama ini, ada penyebutan seorang pejabat yang diundang dalam penganugerahan sima. Adapun nama jabatannya ialah Rakrian Mapatih ring Ujung Galuh. Prasasti Masahar sendiri, kata Wijoyo, dikeluarkan pada masa Mpu Sindok, lebih tua dari era Airlangga.
“Ujung Galuh di prasasti Masahar itu bukan konteks nama tempat, melainkan nama sebuah jabatan. Artinya, nama Ujung Galuh ini eksis sudah sangat lama, semenjak era Mpu Sindok,” katanya.
Hal lain yang disoroti Wijoyo ialah narasi kemenangan Raden Wijaya atas Mongol di Ujung Galuh. Padahal, kata dia, adegan pertempuran Raden Wijaya melawan tentara Mongol sumbernya hanya dari Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama. Dua manuskrip tersebut tak menyebutkan lokasi pertempuran di Ujung Galuh.
“Tapi disebutkan di hutan Trik atau Tarik (perbatasan Sidoarjo-Mojokerto). Cuman endingnya lari ke mana tentara Tartar ini melalui sungai, ini tidak dijelaskan. Lalu apa dasar penetapan Ujung Galuh itu,” kata Wijoyo.
Pemerintah Kota Surabaya menuliskan sebuah prasasti bahwa tentara Tartar pernah singgah di percabangan Kali Surabaya dan Sungai Jagir. Penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Dukut Imam Widodo, meragukan keterangan itu. Menurut Dukut seperti dikutip dari begandring.com, dalam jurnal Archipelago Research in Asia berjudul Mongol Fleet on the Way to Java: First Archeological Remain From the Karimata Strait in Indonesia yang ditulis oleh Hasioo-Chun Hung, Hartatik, Tisna Arif Ma’arifat dan Truman Simanjuntak memang disebutkan kemenangan Wijaya atas Mongol.
Tetapi dalam laporan itu tidak dinyatakan Mongol meninggalkan Surabaya melalui Sungai Jagir di Wonokromo. Selain itu, secara alami menurut peta Surabaya 1706 yang dikeluarkan Grote Atlas van de Verengging Ost Indisch Compagnie Comprehensive Atlas of the Dutch United East India Company, pada 1293 Sungai Jagir belum ada. “Itu kanal buatan Belanda, karena itu sungainya lurus tak belok-belok. Ciri khas sungai buatan manusia itu lurus,” kata Wijoyo.
Menurut Wijoyo dibandingkan narasi kemenengan Raden Wijaya atas Tartar di Ujung Galuh, isi prasasti Canggu (prasasti Trowulan I) yang dikeluarkan pada zaman Raja Hayam Wuruk di masa Majapahit, lebih kuat dijadikan dasar hari jadi Surabaya. Alasannya, dalam prasasti tersebut nama Surabaya (Curabhaya) lebih jelas disebut.
Di prasasti dari logam yang ditemukan di Desa Canggu, Mojokerto itu, tertulis nama-nama desa di sepanjang tepian sungai (Naditira Pradeca), terutama yang berjasa sebagai penambangan (pelabuhan penyeberangan sugai). Dalam prasasti Canggu Curabhaya dikatakan berada di utara Bkul (Bungkul) dan Gsang (Pagesangan). “Desa-desa itu memang berada di tepian sungai,” ujar Wijoyo.
Selain itu dalam kakawin Negarakretagama yang ditulis Mpu Prapanca pada 1365, juga menyebutkan adegan Hayam Wuruk bahwa setiap kali berkunjung ke Jenggala, selalu singgah ke Surabaya. “Berarti Surabaya sudah ada peradaban dong kalau disinggahi Hayam Wuruk,” kata dia.
Wijoyo mengatakan beberapa waktu lalu ia dan para peneliti sejarah pernah mendiskusikan tentang “menggugat” hari jadi Surabaya di café Lodji Besar, kawasan Peneleh. Diskusi itu dihadiri oleh Wakil Wali Kota Surabaya Armuji. Sampai saat ini kajian tentang hal itu tetap bergulir.
Pilihan Editor: Kisah Raden Wijaya Mendirikan Kerajaan Majapahit pada 731 Tahun Silam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini