TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menepis anggapan program Sekolah Rakyat akan melahirkan kelas sosial baru dan menstigmatisasi anak-anak dari keluarga prasejahtera. Ia menegaskan, tujuan utama program ini adalah membuka akses pendidikan bagi masyarakat miskin yang selama ini tertinggal.
“Saya kira tidaklah. Ini malah membuka akses bagi mereka yang memang dalam statistik tidak bisa menuntaskan sekolah sampai SMA. Banyak sekali yang berhenti di SD, berhenti di SMP,” ujar Gus Ipul saat ditemui usai acara Halal Bihalal di kantor Kemensos, Jakarta Pusat, Selasa, 8 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia juga menyampaikan ide Presiden Prabowo membangun Sekolah Rakyat justru menerapkan pendekatan afirmatif untuk anak-anak dari keluarga prasejahtera. Gus Ipul mengatakan tingginya angka anak putus sekolah dari berbagai daerah di Indonesia perlu ada pendekatan khusus, salah satunya melalui program Sekolah Rakyat.
“Anak-anak yang putus sekolah itu biasanya tidak melanjutkan pendidikan, hanya sampai Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menegah Pertama (SMP), karena alasan finansial. Orang tuanya juga meminta mereka untuk membantu bekerja. Dengan Sekolah Rakyat ini justru kami mau mengakomodir semua yang dirasa sulit bagi mereka. Kami bangun sekolah di dekat wilayah mereka supaya orang tua tetap bisa memantau, dana semuanya gratis,” tuturnya.
Selain itu, dia juga menjelaskan Sekolah Rakyat tidak memiliki sistem seleksi akademis. Semua anak dengan tingkat kecerdasan bisa masuk. “Tapi mereka harus dipastikan masuk desil 1 atau 2 saja. Mau anak dengan, mohon maaf, IQ rendah pun, kami tampung,” kata dia.
Gus Ipul mengatakan program Sekolah Rakyat tidak berjalan sendiri, melainkan merupakan kolaborasi lintas kementerian. Kurikulumnya tetap disusun oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen), dengan pendekatan pendidikan formal dan karakter. Sekolah ini rencananya akan menjalankan sistem pendidikan 24 jam.
“Sekarang ini kan sudah ada sekolah unggulan, sekolah internasional, sekolah berbasis agama. Jadi bukan hal baru kalau ada ragam pendekatan. Yang penting sekarang adalah membuka akses lebih luas kepada keluarga miskin untuk memutus mata rantai kemiskinan,” kata Gus Ipul.
Sebelumnya, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai Sekolah Rakyat justru memunculkan segregasi atau pengelompokkan antara kelas sosial atas dengan kelas sosial bawah. Dia juga berpandangan pemisahan kelas sosial dalam institusi pendidikan akan berdampak pada stigmatisasi di masyarakat, khususnya anak-anak yang menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat.
“Itu sudah jelas ya, jadi memperparah ketimpangan, segregerasi, mengotak-ngotakkan, terjadi dikotomi antara kelas anak orang kaya dengan anak orang miskin gitu ya. Jadi jangankan mereka berbaur ya, sekolah aja dipisahkan gitu. Kalau kita ingat, kalau ini diterapkan sebenarnya kita balik ke era kolonial,” ucap dia.
Dia berpendapat semestinya sekolah-sekolah yang ada saat ini dapat memberikan kesan yang inklusif. Masyarakat rentan seperti dari kelompok disabilitas, rakyat miskin kota atau dari berasal dari keluarga prasejahtera, kata dia, harusnya mendapatkan kesempatan yang sama.
“Sekarang anak-anak yang dengan disabilitas, itu sekolahnya bisa berbaur dengan anak-anak yang lain gitu. Tapi kenapa kita harus mundur lagi pengelolaan sekolah kita, gak inklusif gitu tapi justru malah eksklusif gitu. Sehingga anaknya, orang miskin tidak bisa berbaur, berkolaborasi, bekerja sama dengan anak-anak lain gitu. Jadi menurut saya akan ada banyak masalah ya,” ujarnya.