Guru Besar IPB Soroti Maraknya Perburuan Burung Cenderawasih Kuning Besar

5 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University Prof. Ani Mardiastuti mengungkap kondisi memprihatinkan burung cenderawasih kuning besar (Paradisaea apoda) yang hingga kini masih menjadi target perburuan dan perdagangan ilegal, meski statusnya sebagai satwa dilindungi sudah ditetapkan.

Ani mengatakan burung cenderawasih kuning besar memiliki ukuran tubuh yang sedikit lebih besar dibandingkan jenis cenderawasih kuning kecil. “Burung jantan memiliki bulu yang sangat indah, sementara vaginanya cenderung biasa saja, seperti burung gagak dengan warna kemerahan,” kata Ani melalui keterangan tertulis, Selasa, 13 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Prof. Ani Mardiastuti. Dok. Humas IPB University

Burung cenderawasih kuning besar diketahui hidup di pedalaman hutan Papua, berbeda dari spesies lain yang bisa ditemukan di pulau-pulau atau wilayah pesisir. Namun, ia mengungkap penelitian terhadap spesies ini masih minim.

Ia menambahkan bahwa nama Latin Paradisaea apoda berasal dari kesalahpahaman masa lalu ketika burung ini dibawa ke Eropa tanpa kaki akibat cara pengawetan yang tidak tepat. Hal tersebut membuat burung ini dijuluki sebagai 'burung surga yang tidak berkaki'.

"Burung ini memang istimewa, karena sudah bermalam sejak abad ke-19, sudah sangat lama. Pada masa itu, burung ini menjadi terkenal karena sering dijadikan hiasan di kepala para perempuan bangsawan di Eropa," ucapnya.

“Semua orang seharusnya sudah tahu bahwa burung ini dilindungi, tidak boleh dipelihara, diperjualbelikan, bahkan satu helai bulu pun tidak boleh diambil dari alam,” kata Ani menambahkan.

Menurutnya, alasan budaya kerap digunakan sebagai dalih untuk mengizinkan kepemilikan atau penggunaan burung ini sebagai hiasan kepala atau cendera mata. “Kalau memang untuk ritual adat dan jumlahnya sangat terbatas, itu bisa dimaklumi. Tapi, yang tidak bisa diterima adalah ketika cenderawasih ini diperjualbelikan atau untuk cendera mata secara massal,” ujarnya.

Ani juga menekankan adanya titik temu antara konservasi dan tradisi. “Budaya bisa dilestarikan tanpa harus merusak alam. Misalnya, beberapa komunitas di Kalimantan sudah mulai memakai bulu sintetis sebagai pengganti bulu rangkong dalam upacara adat. Itu bisa jadi contoh,” kata dia.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |