TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan, setidaknya terdapat tiga catatan penting dalam pembahasan Rancangan undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang harus menjadi perhatian. Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Arif Maulana, menjelaskan bahwa catatan tersebut disusun berdasarkan hasil diskusi bersama Komisi III DPR RI pada Selasa, 8 April 2025. .
Menurut Arif, diskusi ini bukan bagian dari proses pembahasan formal RUU KUHAP, sehingga tidak dapat diklaim sebagai partisipasi publik bermakna. Adapun catatan tersebut menyangkut proses yang bermasalah dalam pembahasan RUU KUHAP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menjelaskan bahwa pada Januari lalu, Komisi III menyatakan penyusunan revisi akan dimulai dari awal. Namun, secara mengejutkan, pada rapat paripurna 18 Februari 2025, revisi tersebut justru muncul sebagai usulan resmi dari DPR. "Pada saat itu sama sekali tidak tersedia informasi mengenai draft RUU yang dibawa ke paripurna tersebut. Bahkan anggota Komisi III juga menyatakan tidak mengetahui draf awal RUU KUHAP tersebut," kata dia.
Catatan kedua kata dia, pada draf Revisi UU KUHAP 2025 ini, menghilanglan beberapa rangkaian sejarah pada pembahasan RUU KUHAP sebelumnya. Menurut Arif, berbagai terobosan progresif yang pernah dimuat dalam versi RUU KUHAP tahun 2012 tidak lagi ditemukan dalam draf terbaru.
Adapun materi krusial yang hilang adalah konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP). Padahal HPP merupakan elemen penting dalam mekanisme judicial scrutiny atau pengawasan pengadilan, yang berperan menilai apakah tindakan paksa perlu dilakukan serta menguji keabsahan tindakan paksa yang telah diambil. Selain itu, HPP juga memiliki kewenangan untuk memeriksa dugaan pelanggaran hak terhadap tersangka. "Konsep progresif tersebut hilang dalam draft 2025," ujar dia.
Materi penting lainnya yang turut hilang, menurut Arif, mencakup jaminan kepastian hukum atas tindak lanjut laporan pidana agar bisa diajukan ke Penuntut Umum, penerapan prinsip habeas corpus di mana seseorang yang ditangkap harus segera dihadapkan ke hakim, pembatasan waktu penahanan sebelum sidang, serta kewajiban memperoleh izin hakim untuk setiap tindakan paksa. Seluruh poin ini sejatinya bertujuan untuk menjamin akuntabilitas proses hukum dan mencegah terjadinya monopoli diskresi oleh penyidik.
Kemudian ketiga, adalah Draf Revisi UU KUHAP yang terbaru tidak mengakomodir sembilan isu krusial yang menurut Arif perlu dimasukkan. Koalisi Masyarakat Sipil merangkum sejumlah materi penting yang perlu menjadi perhatian dalam revisi KUHAP, di antaranya: kepastian tindak lanjut atas laporan tindak pidana, mekanisme pengawasan dan peradilan, standar tindakan paksa yang berlandaskan prinsip HAM, akuntabilitas dalam teknik investigasi khusus, peran advokat serta jaminan keseimbangan dalam proses peradilan pidana, sistem pembuktian dan penggunaan alat bukti, pengaturan sidang elektronik dan jaminan perlindungan untuk perkara di luar persidangan, serta pemenuhan hak-hak bagi tersangka, saksi, korban, kelompok rentan, dan penyandang disabilitas.