TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK menerima belasan permohonan uji formil dan materiil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tetang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI. Sidang perdana gugatan uji formil dan materiil terhadap UU TNI itu digelar perdana pada Jumat, 9 Mei 2025.
Ada 11 gugatan yang diajukan oleh berbagai pihak, baik dari mahasiswa maupun masyarakat sipil. Sebanyak 11 perkara tersebut disidangkan dalam tiga panel majelis hakim konstitusi di Gedung MK RI, Jakarta, Jumat, mulai pukul 09.00 WIB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MK: Cetak Sejarah, Undang-Undang TNI Paling Banyak Digugat
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra menyebutkan gugatan terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia mencetak sejarah. Sebab, baru pertama kali ada banyak permohonan uji formil dan materiil yang sama terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 yang disidangkan secara serentak.
MK menyatakan, UU TNI menjadi undang-undang yang paling banyak diajukan gugatan. Saldi menyebut, MK menerima belasan permohonan uji formil dan materiil terhadap Undang-Undang TNI yang diajukan mulai dari mahasiswa hingga masyarakat sipil. "Ini pertama dalam sejarah Mahkamah," kata Saldi pada sidang pemeriksaan pendahuluan perkara gugatan Nomor 45, 55, 69, 79/PUU-XXIII/2025 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jumat, 9 Mei 2025.
Dia menjelaskan, pada Jumat, 9 Mei 2025, MK mengagendakan sidang perdana atau pemeriksaan pendahuluan uji formil dan materiil Undang-Undang TNI, yang mayoritas diajukan oleh mahasiswa dari beberapa universitas di Indonesia.
Saldi menyebutkan, misalnya, pada panel sidang perkara Nomor 45, 55, 69, dan 79/PUU-XXIII/2025 terdapat tiga mahasiswa dari universitas berbeda yang menggugat UU TNI. Ketiga mahasiswa itu berasal dari Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, dan Universitas Brawijaya. "Kelihatan mahasiswa Indonesia ini kompak," ujar Guru besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas itu.
Saldi menyarankan, para mahasiswa menyingkirkan sikap ego sektoral dari masing-masing kampus. Ia mengatakan, akan lebih baik jika permohonan gugatan digabung dengan permohonan lain saat diberikannya waktu perbaikan permohonan oleh Mahkamah. "Agar bisa saling melengkapi argumentasi, bukti, dalil, dan lain-lainnya," kata dia.
Baca berita selengkapnya di sini.
MK Sarankan Mahasiswa Gabungkan Permohonan Gugatan Uji Formil UU TN
Mahkamah Konstitusi menyarankan mahasiswa yang mengajukan gugatan uji formil maupun materiil UU TNI untuk menggabungkan permohonan menjadi satu gugatan. Hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan, banyaknya permohonan gugatan uji formil terhadap UU TNI di Mahkamah, merupakan pertama kali dalam sejarah, di mana Mahkamah menyidangkan perkara serentak dalam satu isu yang serupa.
"Oleh karena itu, karena nanti akan ada waktu perbaikan permohonan, akan jauh lebih baik kalau nanti ini digabungkan menjadi satu permohonan," kata Saldi pada sidang pemeriksaan pendahuluan perkara gugatan Nomor 45, 55, 69, 79/PUU-XXIII/2025 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jumat, 9 Mei 2025.
Wakil Ketua Mahkamah itu melanjutkan, saran untuk menggabungkan gugatan permohonan ini didasari alasan agar argumentasi, bukti, dalil, dan segala macam yang diperlukan pada permohonan dapat saling melengkapi satu sama lain.
Dengan begitu, kata dia, akan terlihat jika mahasiswa Indonesia memiliki kekompakan, terutama dalam memperjuangkan supremasi sipil terlepas dari apa pun hasilnya nanti. "Jadi, bukan karena soal mewakili universitasnya lagi, tapi soal substansi yang diperjuangkan," ujar dia.
Baca berita selengkapnya di sini.
Hakim Saldi Isra: Kritik UU TNI tapi Pakai Kata Izin, Itu Kan dari TNI-Polri
Sidang perkara Nomor 79/PUU-XXIII/2025 yang diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, yaitu Endrianto Bayu Setiawan, Raditya Nur Sya’bani, Felix Rafiansyah Affandi, Dinda Rahmalia, Muhamad Teguh Pebrian, dan Andrean Agus Budiyanto dipimpin oleh Ketua Hakim Saldi Isra bersama Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani.
Dalam sidang itu, Saldi Isra sempat menyentil pemohon yang kerap menggunakan kata izin sebelum berbicara kepada hakim konstitusi. "Tidak usah izin, sudah diizinkan dari awal," kata Saldi di ruang sidang Mahkamah, Jumat, 9 Mei 2025.
Dia menjelaskan, penggunaan kata izin kental akan nuansa militerisme. Ia mengingatkan, agar mahasiswa tak cenderung menggunakan kalimat tersebut di persidangan. "Anda mengkritik UU TNI. Tetapi, kalimat izin-izin itu kan dari TNI-Polri, Anda pakai juga," ujar Saldi.
Baca berita selengkapnya di sini.
Pemohon Minta Prabowo dan Anggota DPR Bayar Denda Miliaran Rupiah
Sementara itu, mahasiswa Universitas Putra Batam dan mahasiswa Universitas Negeri Batam menuntut pembayaran denda kepada Presiden Prabowo Subianto dan anggota DPR yang mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI.
Dua mahasiswa bernama Hidayatuddin dan Respati Hadinata ini mengajukan gugatan uji formil terhadap UU TNI yang disahkah DPR pada Maret lalu ke Mahkamah Konstitusi. Perkara ini teregister dengan Nomor 58/PUU-XXIII/2025.
"Menghukum pimpinan dan masing-masing anggota DPR yang hadir pada rapat paripurna ke-XII masa persidangan II tertanggal 18, Februari 2025 untuk membayar ganti rugi kepada negara sebanyak Rp 50 miliar terhitung sejak putusan ini dibacakan," kata pemohon Respati saat membacakan petitum alternatif di gedung Mahkamah Konstitusi, Jumat, 9 Mei 2025.
Selain menghukum pimpinan dan anggota DPR, dia melanjutkan, pemohon juga meminta Mahkamah untuk menghukum Presiden Prabowo Subianto membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 25 miliar. Alasannya, baik DPR dan presiden dianggap telah lalai dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya.
Baca berita selengkapnya di sini.
Andi Adam Faturahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.