6 Temuan KPAI Soal Pendidikan Anak di Barak Militer ala Dedi Mulyadi

4 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan sejumlah permasalahan hingga kejanggalan dalam pelaksanaan program pendidikan karakter pancawaluya Jawa Barat istimewa besutan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Program itu adalah mendidik anak dengan cara mengirim ke barak militer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Temuan ini merupakan bagian dari hasil pengawasan langsung KPAI terhadap pelaksanaan program di dua lokasi utama, yakni Barak Militer Resimen 1 Sthira Yudha di Purwakarta dan Depo Pendidikan Bela Negara Rindam III Siliwangi di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Berikut sejumlah temuan KPAI:

Ada Ancaman Tak Naik Kelas

Wakil Ketua KPAI Jasra Putra mengungkap adanya praktik intimidatif dalam pelaksanaan program pendidikan karakter berbasis barak militer ini. Dia menyebut anak-anak yang menolak mengikuti program ini bahkan mendapat ancaman tidak naik kelas.

"Program ini tidak ditentukan berdasarkan asesmen psikologi profesional, melainkan hanya rekomendasi dari guru Bimbingan Konseling (BK). Bahkan dari hasil wawancara kami dengan anak-anak di Purwakarta maupun Lembang, ada ancaman bahwa siswa yang menolak mengikuti program bisa tidak naik kelas," kata Jasra dalam konferensi pers secara daring, Jumat, 16 Mei 2025.

Sebagian Anak Tak Betah Hingga Ingin Keluar 

Temuan lainnya, terdapat anak-anak peserta pelatihan yang merasa tidak nyaman hingga ingin keluar dari lokasi pendidikan dengan berbagai alasan. “Sebagian dari mereka mengikuti diklat ini karena rekomendasi guru BK. Ada yang mengatakan tidak betah, ingin tetap belajar di sekolah, dan bahkan ada yang mencoba keluar dari depo pendidikan dengan alasan ingin membeli makanan ringan,” kata Komisioner KPAI Aris Adi Leksono pada Senin, 12 Mei 2025.

Meski tak ditemukan kekerasan fisik, Aris mencatat adanya tanda-tanda kelelahan yang dirasakan para peserta didik. Hal itu tercermin saat mereka mengikuti materi. “Anak-anak tampak lelah, sehingga saat ada materi ada yang mengantuk, tidak fokus, dan berbicara antar teman,” ujar Aris.

Pertanyakan Proses Pemilihan Siswa Nakal

KPAI juga menemukan adanya ketidakpastian dalam penentuan siswa nakal yang akan dikirim ke barak. Jasra mengatakan di salah satu lokasi program, yakni di Purwakarta, ditemukan tiga SMP negeri yang belum memiliki guru BK. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar ihwal siapa yang sebenarnya memberikan rekomendasi agar siswa mengikuti program tersebut.

"Ini tentu harus dilihat lebih jauh. Kami merekomendasikan agar asesmen dilakukan oleh psikolog profesional, agar pilihan kebijakan terhadap anak betul-betul tepat dan tidak melanggar hak-hak mereka," ujar Jasra.

6,7 Persen Anak Tidak Mengetahui Alasan Mereka Dikirim

KPAI mencatat, mayoritas siswa yang dikirim ke program pendidikan barak militer berasal dari latar belakang dengan kebiasaan merokok, bolos sekolah, atau pernah terlibat tawuran. Namun, sekitar 6,7 persen anak menyatakan tidak tahu alasan mereka dikirim ke program tersebut. Bagi KPAI, ini menjadi tanda bahwa proses seleksi peserta masih bermasalah.

KPAI menegaskan pentingnya peninjauan ulang terhadap ketepatan sasaran dan pendekatan dalam program pendidikan karakter ini. Wakil Ketua KPAI Jasra menilai, pemaksaan atau tekanan terhadap anak justru berpotensi mencederai prinsip perlindungan anak dan melanggengkan praktik diskriminatif di lingkungan sekolah.

Pembina di Barak Belum Memahami Prinsip Dasar Perlindungan anak

KPAI menemukan tidak semua pembina dalam program pendidikan militer ala Dedi Mulyadi itu memahami prinsip dasar perlindungan anak (child safeguarding). Hal itu dinilai sebagai salah satu celah serius dalam pelaksanaan program pendidikan berbasis barak militer yang ditujukan bagi siswa dengan perilaku menyimpang. “Tidak semua Pembina memahami protokol Child Safeguarding,” kata Jasra.

Jasra menilai kurangnya pemahaman pembina terhadap prinsip-prinsip perlindungan anak berpotensi membuka ruang pelanggaran hak anak. Padahal, program yang menyasar siswa usia SMP hingga SMA ini semestinya dilandasi dengan prinsip-prinsip perlindungan khusus, sesuai amanat Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021.

Belum Memiliki SOP Jaminan Kesehatan yang Baku

KPAI juga mencatat program Dedi Mulyadi ini belum memiliki standar operasional yang baku dan belum didukung kehadiran tenaga medis maupun ahli gizi secara tetap, khususnya di lokasi pendidikan bela negara di Bandung. Kondisi ini semakin memperkuat kekhawatiran akan keselamatan dan kesejahteraan peserta didik selama mengikuti program.

“Ketiadaan protokol child safeguarding yang dipahami oleh seluruh pembina sangat berisiko terhadap perlakuan yang melanggar hak anak, terlebih dalam lingkungan pendidikan yang bersifat semi-militer,” ujar Jasra.

Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |