158 Guru Besar FKUI Prihatin Kebijakan Pendidikan Kedokteran

10 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta -- Sebanyak 158 guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menyatakan prihatin terhadap kebijakan kesehatan nasional dan pendidikan kedokteran yang dijalankan Kementerian Kesehatan. Guru Besar FKUI Siti Setiati menilai, kebijakan pemerintah saat ini berpotensi menurunkan mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis. "Sehingga berdampak langsung pada kualitas pelayanan kesehatan masyarakat," ujar Siti saat membacakan pernyataan sikap 158 Guru Besar FKUI di Gedung FKUI, Jakarta, pada Jumat, 16 Mei 2025.

Ada sejumlah alasan yang membuat ratusan guru besar di FKUI prihatin.Pertama, kata Siti, ihwal penyederhanaan pendidikan dokter dan dokter spesialis. Menurut dia, menjadi seorang dokter bukan sekadar menjalani pelatihan teknis sehingga tidak dapat dianggap disederhanakan. "Menjadi seorang dokter adalah melalui proses pendidikan akademik yang panjang, ketat, bertahap sesuai filsafat kedokteran yang mendasari layanan kesehatan," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siti turut menyoroti ihwal penyelenggaraan pendidikan dokter di luar sistem universitas. Ratusan guru besar FKUI menilai pelaksanaan itu sepatutnya memerlukan kerja sama dengan fakultas kedokteran. Menurut dia, pendidikan kedokteran tanpa sinergi yang baik justru menimbulkan ketimpangan kualitas antar dokter. "Juga meningkatkan risiko kesalahan dalam pelayanan medis, yang pada akhirnya bisa merugikan pasien serta masyarakat luas," ucap dia.

Alasan lainnya perihal kebijakan pemisahan fungsi akademik dari rumah sakit pendidikan. Dia mengatakan, kebijakan itu mengancam ekosistem pendidikan kedokteran itu sendiri. Siti dan seratusan guru besar dari FKUI juga memprihatinkan terhadap penetapan rumah sakit vertikal menjadi rumah sakit pendidikan utama. Menurut dia, perlu ada koordinasi restrukturisasi dengan institusi pendidikan setelah penetapan rumah sakit pendidikan utama itu.

Keprihatinan lainnya, Siti melanjutkan, ihwal kondisi kolegium kedokteran yang saat ini. Dia mengatakan, seharusnya kolegium kedokteran itu dijaga independensinya untuk melindungi mutu serta kompetensi profesi. "Kolegium harus tetap mandiri dan bebas dari intervensi kebijakan yang tidak berbasis akademik maupun kepentingan jangka pendek," ujarnya.

Belakangan ini mencuat dugaan pembentukan kolegium kedokteran tandingan oleh Kementerian Kesehatan. Dugaan itu beredar setelah sejumlah dokter anak dimutasi secara sepihak. Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso menduga mutasi terhadap sejumlah dokter yang juga merupakan pengurus IDAI itu berhubungan dengan sikap organisasi mengenai pengambilalihan kolegium.

IDAI sebelumnya menentang keputusan Kementerian Kesehatan membentuk kolegium. Mengacu pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Piprim menyebutkan kolegium seharusnya bersifat independen dan dibentuk oleh kelompok ahli tiap disiplin ilmu kesehatan.

Piprim menuturkan, pada Oktober 2024, IDAI menggelar Kongres Ilmu Kesehatan Anak atau KONIKA di Semarang, Jawa Tengah. "Saat itu, IDAI menyatakan sikap tetap mempertahankan kolegium itu di bawah organsisasi profesi berdasarkan kongres," ucap Piprim saat rapat dengar pendapat umum bersama BAM DPR, Rabu, 7 Mei 2025.

Setelah pernyataan sikap itu, tiga dokter yang juga menjabat sebagai pengurus IDAI dimutasi sepihak. Sementara satu dokter diberhentikan mendadak. Selain dirinya, Piprim menyebut dua dokter lain yang dimutasi ialah Hikari Ambara Sjakti dan Fitri Hartanto. Adapun Rizky Adriansyah diberhentikan oleh Kementerian Kesehatan.

Adapun Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, mutasi sejumlah dokter adalah untuk menjaga budaya kerja yang sehat di lingkungan kerja rumah sakit. "Jadi mutasi itu sudah dilakukan sejak enam bulan lalu. Semuanya diputar kenapa? Saya tidak ingin ada budaya-budaya tidak timur," kata Budi seusai rapat bersama DPR pada Rabu, 14 Mei 2025, seperti dilansir Antara.

Menteri Budi mencontohkan, dokter dari Jakarta yang dipindahkan ke Surabaya dilarang-larang untuk berpraktek di tempat barunya karena bukan lulusan daerah itu. Ketika menanyakan alasannya, dia menerima jawaban bahwa dokter Surabaya diperlakukan serupa ketika di Jakarta. Karena itu, kata Budi, mutasi itu untuk pemerataan serta menghilangkan budaya semacam itu, serta budaya di mana dokter hanya mau berpraktek di RS tertentu saja.

Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor:

Akar Masalah Mahalnya Uang Pangkal Kampus Negeri

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |