UU BUMN Digugat ke MK. KPK Soroti Dua Aturan yang Bertentangan dengan UU Lain dan Putusan MK

4 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan bahwa gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari hak konstitusional setiap warga negara. Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, mengatakan pihaknya menyambut baik langkah tersebut.

"KPK Juga menegaskan posisioning-nya terkait dengan implikasi adanya UU BUMN," kata dia di Gedung Merah Putih KPK pada Jumat, 9 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menjelaskan bahwa KPK menyoroti dua hal, pertama adalah ketentuan yang menyatakan Direksi, Komisaris, dan Pengawas di perusahaan pelat merah tidak lagi dianggap sebagai penyelenggara negara dala UU BUMN. Menurut KPK, ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam hal ini, KPK tetap berpegang pada UU Nomor 28 tahun 1999 sebagai acuan.

"KPK memandang bahwa Undang-Undang 28 Tahun 1999 adalah hukum administrasi yang secara khusus mengatur tentang penyelenggara negara dengan tujuan untuk menekan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme," kata dia.

Kedua, Budi menjelaskan bahwa kerugian pada BUMN tetap merupakan kerugian milik negara. KPK merujuk pada Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Nomor 62/PUU-XI/2013, yang kemudian diperkuat oleh Putusan MK Nomor 59/PUU-XVI/2018 dan Nomor 26/PUU-XIX/2021. Dalam putusan-putusan tersebut ditegaskan bahwa keuangan negara yang sudah dipisahkan, termasuk yang dikelola BUMN, tetap dianggap sebagai bagian dari keuangan negara.

"Untuk itu pada aspek pencegahan KPK juga berkesimpulan bahwa Direksi, Komisaris, dan Pengawas pada BUMN juga wajib melaporkan LHKPN-nya dan melaporkan jika melakukan penerimaan gratifikasi," kata dia. 

UU BUMN ini sendiri sudah beberapa kali diajukan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Di antaranya diajukan oleh dua mahasiswa Universitas Indonesia, Abu Rizal Biladina dan Bima Surya, serta seorang dosen hukum, Rega Felix. Rizal dan Bima menggugat secara formil karena menilai proses pembentukan UU tersebut minim partisipasi publik. Sementara itu, Rega berpendapat bahwa aturan ini justru berpotensi membuka ruang bagi praktik korupsi.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |