TEMPO.CO, Jakarta - Komisi bidang Kesehatan DPR berencana menggelar rapat bersama Kementerian Kesehatan; Universitas Padjajaran; RS Hasan Sadikin, Konsil Kedokteran; serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi usai dibukanya kembali masa persidangan, 17 April mendatang. Wakil Ketua Komisi bidang Kesehatan DPR Nihayatul Wafiroh mengatakan, rapat itu akan membahas ihwal perkara kekerasan seksual yang dilakukan dokter residensi terhadap keluarga pasien di RSHS.
"Selain penjelasan, kami juga meminta kepastian agar kasus ini tidak terulang lagi," kata Nihayatul melalui pesan singkat Selasa, 15 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus Partai Keadilan Bangsa tersebut mendorong dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap seluruh sistem Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang dilakukan perguruan tinggi dengan RS yang dikelola pemerintah. Beberapa usula evaluasi itu misalnya, ihwal penerapan tes kesehatan mental peserta PPDS, hingga audit standap operasional prosedur (SOP) pelayanan dan pengawasan yang diterapkan di rumah sakit. "Semua harus dilakukan rutin untuk memutus rantai kasus ini," ujar dia.
Pada 23 Maret lalu, seorang dokter residensi anestesi PPDS dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran dibekuk kepolisian terkait perkara kekerasan seksual yang dilakukan kepada keluarga pasien di RSHS.
Kepolisian Daerah Jawa Barat menyebut dokter bernama Priguna Anugerah Pratama itu telah melakukan kekerasan sesksual kepada tiga perempuan dengan modus membius korban sebelum disetubuhi. Aksi tersebut seluruhnya dilakukan di ruang 711 gedung Mother and Child Healthcare (MCHC) RSHS. Ruangan itu merupakan ruangan yang belum difungsikan oleh manajemen RSHS.
Dihubungi terpisah, Anggota Komisi bidang Kesehatan DPR Irma Suryani Chaniago mengatakan selain bertindak menonaktifkan surat tanda registrasi dan pencabutan surat izin praktik pelaku, pemerintah harus melakukan upaya preventif lainnya. Upaya itu, kata dia, misalnya dengan membuat kontrak antara dokter residensi dengan RS secara langsung.
Menurut Irma, kontrak tersebut akan mengatur secara jelas terkait kewenangan dan tugas dokter residensi ketika bertugas. selama ini, PPDS dilakukan hanya dengan ditanda tanganinya kontrak antara RS dengan perguruan tinggi selaku penyalur sekaligus tempat menimba ilmu dokter residensi. "Kalau kontraknya dilakukan secara langsung, fungsi kontrolnya juga akan lebih efektif," kta Politikus Partai NasDem itu.
Presidium Dokter Indonesia Bersatu Agung Sapta Adi menilai pemerintah dan DPR tidak bisa abai terhadap lemahnya SOP dan pengawasan yang dilakukan manajemen RSHS. Menurut Agung, dalam persoalan ini, Unpad sebagai institusi pendidikan yang menyalurkan dokter residensi ke RS tidak bisa serta merta dititik beratkan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
Ia mengatakan, SOP dan pengawasan RSHS yang dikelola pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, juga perlu dievaluasi untuk memastikan pelayanan dan penerapan SOP berjalan baik. "Ketika dokter residen bertugas di RS, maka sebetulnya protokol di RS itu sendiri yang harus paling membentengi pasien karena hubungannya dengan pelayanan," ujar Agung.
Kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat RSHS Shanti Diana Siptamalasari belum menjawab pesan pertanyaan Tempo ihwal penerapan SOP dan pengawasan RSHS yang dinilai lemah dalam perkara kekerasan seksual yang dilakukan dokter residensi Priguna.