TEMPO.CO, Jakarta - Taman Safari Indonesia (TSI) mengklaim terkena dampak polemik kasus dugaan eksploitasi dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI). Bambang Widjojanto, kuasa hukum TSI, mengatakan dampak tersebut mereka rasakan sebab nama TSI terseret dalam pemberitaan dan polemik tentang OCI di media sosial.
“Di percakapan awal ketika kasus ini muncul, selalu saja frasa dan kata yang digunakan adalah ‘OCI TSI’. Padahal itu enggak benar,” kata Bambang kepada media saat ditemui di gedung Kementerian HAM, Jakarta Selatan, pada Rabu malam, 7 Mei 2025.
Pengacara sekaligus aktivis HAM itu menekankan TSI dan OCI merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga tidak bisa dimintai tanggung jawab hukum yang sama dalam kasus ini. Ia berkata pihak TSI sudah meminta publik agar memisahkan kedua identitas tersebut.
“Karena dilekatkan itu, kemudian reputasi TSI itu menjadi tercemar. Padahal hak kebinatangan saja dilindungi di TSI,” ujarnya.
Bambang juga mengklaim TSI bukan satu-satunya pihak yang dirugikan oleh polemik OCI. Menurutnya, warga yang berjualan di sekitar lingkungan Taman Safari juga terkena imbasnya. Ia tidak spesifik menyatakan kerugian seperti apa yang mereka alami.
“Bukan TSI saja loh, orang-orang yang berjaulan di sekitar sana dirugikan. Itu sebabnya kami mendukung supaya proses ini segera diselesaikan,” katanya.
Sebelumnya, TSI sempat menyatakan tindakan penyebaran berita bohong dan tuduhan sepihak melanggar beberapa ketentuan hukum, termasuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
TSI menegaskan akan mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang “dengan tendensius dan insinuatif (tuduhan tak berdasar)” menyebutkan OCI sebagai bagian dari perusahaan TSI secara “sengaja, sistematis dan terang-terangan” di berbagai platform media sosial. Hal tersebut disampaikan lewat siaran pers tertanggal 29 April 2025.
Adapun nama TSI memang disebut-sebut oleh para eks pemain sirkus OCI ketika kembali menggaungkan kasus ini. Para korban mengaku mengalami berbagai bentuk kekerasan oleh keluarga pemilik OCI dan TSI, seperti dipukul, disetrum, dipaksa bekerja dalam kondisi sakit, dipisahkan dari anaknya setelah melahirkan, hingga dijejali kotoran hewan.
Dalam kronologi tertulis dari pendamping korban, dikatakan bahwa para pemilik dan/atau pengelola OCI serta Taman Safari Indonesia mengambil dan memisahkan lebih dari 60 anak-anak berusia 2–4 tahun dari orang tua mereka. Kemudian di usia 4–6 tahun, mereka diduga dipekerjakan tanpa upah, tidak disekolahkan, dan tidak diberi tahu identitas aslinya.
Kaitan antara OCI dan TSI bersifat kekeluargaan. Taman Safari Indonesia didirikan pada 1981 oleh tiga bersaudara Jansen Manansang, Frans Manansang, serta Tony Sumampau. Mereka merupakan anak dari Hadi Manansang, yang telah terlebih dahulu mendirikan OCI.
TSI juga pernah ditagih ganti rugi senilai Rp 3,1 miliar oleh para korban. Mereka meminta sejumlah uang tersebut lewat somasi yang dilayangkan pada 10 Oktober 2024 kepada Jansen, Frans, dan Tony.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini