Sikap DPR hingga Pengamat Hukum Soal Tarik Ulur RUU Perampasan Aset

6 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto telah menyuarakan dukungan penuh terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset. Dalam pidato peringatan Hari Buruh di Monas pada 1 Mei 2025, Prabowo menegaskan bahwa tidak boleh ada kompromi terhadap koruptor yang enggan mengembalikan aset hasil kejahatannya.

“Enak saja sudah nyolong, nggak mau kembalikan aset. Saya tarik saja itu. Setuju?" ujar Prabowo, disambut sorak sorai para buruh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUU Perampasan Aset ini digagas sejak 2008 dan terus tertunda selama lebih dari satu dekade, meskipun sudah melalui dua pergantian presiden. Dengan pernyataan keras Prabowo, tekanan politik untuk segera mengesahkan RUU ini semakin besar.

Tanggapan DPR

Meski mendapat dukungan dari Presiden, nasib RUU Perampasan Aset di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih belum jelas. Setelah sempat masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada 2023 dan 2024, RUU ini justru gagal masuk ke dalam prolegnas prioritas 2025. Padahal, draf RUU sudah dibahas sejak 2010 dan mengalami dua kali revisi akibat sejumlah pasal yang kontroversial.

Pasal-pasal yang dianggap bermasalah antara lain Pasal 2 yang memperbolehkan perampasan tanpa proses pidana, serta Pasal 5 ayat 2 yang membuka kemungkinan penyitaan aset yang asal-usulnya tak jelas tanpa pembuktian di pengadilan. Kontroversi ini diduga menjadi alasan kuat mengapa sejumlah fraksi di DPR masih tarik ulur.

Menkumham dan Menko Yusril Ihza Mahendra

Hingga saat ini, Menteri Hukum dan HAM belum menyampaikan pernyataan publik yang tegas mendukung percepatan pengesahan RUU tersebut. Padahal, kementerian ini memiliki peran penting dalam mendorong pembahasan di parlemen.

“Ini perlu komunikasi yang sungguh-sungguh dengan seluruh kekuatan-kekuatan politik dalam hal ini partai-partai politik untuk dilakukan terutama dari pihak pemerintah akan melakukan itu,” kata Supratman saat ditemui di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta Selatan pada Selasa, 15 April 2025.

Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Yusril Ihza Mahendra juga belum memberikan sinyal kuat secara langsung di depan publik.

“Jadi saya kira belum ada urgensinya untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, tapi ya semuanya terserah kita kembalikan kepada presiden,” ujar Yusril.

Kata Pengamat Hukum Unair

Pengamat hukum dari Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, menilai bahwa perdebatan soal pasal kontroversial dalam RUU Perampasan Aset hanyalah satu sisi dari persoalan. Menurutnya, yang lebih krusial adalah absennya komitmen politik dari para pembuat kebijakan.

"Dengan Presiden Prabowo yang sudah menyatakan sikap, maka merupakan peluang untuk membuktikan upaya pemberantasan korupsi," ujarnya seperti dikutip dari Antara.

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menilai RUU Perampasan Aset sangat penting untuk memperkuat kerja lembaga antirasuah dalam menyelamatkan uang negara. Ia menegaskan bahwa keberadaan undang-undang ini akan mempercepat proses pemulihan aset hasil tindak pidana, bahkan sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

"Bila pengesahan RUU tentang Perampasan Aset disahkan menjadi undang-undang dan dilaksanakan, bisa bermanfaat dan memperkuat kerja KPK sebagai lembaga negara yang diberi tugas dan kewenangan untuk memberantas korupsi di Indonesia," ujar Tanak.

Menurutnya, jika RUU ini disahkan, KPK bersama aparat penegak hukum lain bisa langsung menyita dan mengelola aset, lalu menyerahkannya kepada negara. Tanak juga menegaskan, masyarakat perlu memahami bahwa perampasan aset bukan sekadar hukuman tambahan bagi pelaku, melainkan juga upaya serius untuk memulihkan keadilan dan menekan potensi kejahatan serupa di masa depan.

RUU Perampasan Aset pertama kali dirancang pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui inisiatif Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pada 2010, draf awal RUU ini telah selesai dan siap diajukan ke DPR. Namun sejak itu, RUU ini silih berganti masuk dan keluar dari Prolegnas, tanpa kepastian pembahasan tuntas.

Minimnya pengembalian aset korupsi menjadi bukti pentingnya RUU Perampasan Aset ini. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut, selama 2020–2024, hanya Rp 2,49 triliun aset hasil korupsi yang berhasil dikembalikan ke negara. Padahal, menurut ICW, kerugian negara akibat korupsi pada 2019–2023 mencapai Rp 234,8 triliun, dengan tingkat pengembalian rata-rata hanya 13 persen.

Yudono Yanuar dan Eka Yudha Saputra turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |