SAF Jadi Solusi Bahan Bakar Ramah Lingkungan untuk Industri Penerbangan

4 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Industri penerbangan dunia menargetkan pencapaian Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2050, dengan upaya menurunkan emisi hingga sekitar 11,5 gigaton. Salah satu langkah strategis yang diambil adalah beralih dari penggunaan bahan bakar fosil seperti avtur, menuju bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dan dapat diperbarui. Bahan bakar yang tengah dikembangkan untuk tujuan ini adalah Sustainable Aviation Fuel (SAF).

“SAF sendiri diprediksi akan mampu menurunkan emisi CO2 di sekitar 718 Mega Ton CO2 pada 2050. Diprediksi juga pada tahun yang sama proses kebutuhan SAF diperkirakan sekitar 449 Milyar Liter secara global dalam satu tahun,” kata Arif Rahman di Jakarta, Rabu, 15 April 2025, dikutip dari brin.go.id. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih lanjut, menurutnya Indonesia telah menetapkan tiga tujuan utama dalam peta jalan yang disusun oleh pemerintah. Tujuan pertama adalah melakukan dekarbonisasi di sektor penerbangan untuk mendukung pencapaian target pengurangan emisi karbon secara global dan nasional, khususnya melalui penggunaan Sustainable Aviation Fuel.

“Kedua, kedaulatan energi dengan memenuhi kebutuhan energi sektor aviasi secara mandiri dengan memanfaatkan bahan baku domestik. Ketiga, penciptaan nilai ekonomi melalui hilirisasi bahan baku, penjualan SAF  untuk pasar ekspor dan domestik, serta peningkatan investasi,” tuturnya.

Ia menambahkan bahwa saat ini produksi SAF di Indonesia masih mengandalkan jalur Hydro-processed Esters and Fatty Acids (HEFA), dengan bahan baku berupa Palm Kernel Oil (PKO) yang dinilai belum sepenuhnya ramah lingkungan. Oleh karena itu, kegiatan riset dan pengembangan (RnD) terhadap beragam jenis bahan baku untuk SAF melalui metode HEFA perlu terus dikembangkan.

“Pentingnya keberlanjutan dalam produksi SAF antara lain mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, mendorong ekonomi sirkular. Mengurangi polusi  udara lokal, Mendukung pembangunan berkelanjutan, memenuhi regulasi dan tuntutan pasar,” kata dia.

Ia menegaskan bahwa saat ini terdapat dua bahan baku yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai alternatif dalam produksi SAF melalui jalur HEFA generasi berikutnya, yakni Used Cooking Oil (UCO) atau minyak jelantah, serta Palm Fatty Acid Distillate (PFAD). Kedua bahan tersebut merupakan limbah yang dinilai lebih berkelanjutan sebagai sumber energi.

Untuk menilai sejauh mana dampak lingkungan dari berbagai jenis bahan baku SAF tersebut, ia menjelaskan bahwa pendekatan yang dapat digunakan adalah Life Cycle Assessment (LCA). Metode ini merupakan cara sistematis untuk mengukur dampak lingkungan suatu produk, proses, atau aktivitas, mulai dari tahap awal hingga akhir dari siklus hidupnya.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa kajian LCA mencakup seluruh tahapan penting dalam siklus hidup produk, termasuk ekstraksi bahan baku, proses produksi, distribusi, penggunaan, hingga ke tahap akhir seperti pembuangan atau daur ulang. Pendekatan ini penting agar pengembangan SAF benar-benar memberikan manfaat lingkungan yang optimal.

“LCA memiliki beberapa manfaat yang signifikan di Indonesia, seperti mengidentifikasi dampak lingkungan produk atau layanan, mengurangi biaya produksi, meningkatkan efisiensi produksi dan penggunaan sumber daya. Memenuhi persyaratan peraturan lingkungan, membantu perbaikan berkelanjutan, meningkatkan citra perusahaan, membantu pengambilan keputusan yang lebih baik untuk bisnis dan investasi,” ujarnya. 

Kemudian, lanjut Arif, tantangan dalam penerapan LCA untuk produksi SAF mencakup beberapa aspek, antara lain terbatasnya data yang akurat dan menyeluruh, rumitnya rantai pasok, perbedaan metodologi yang digunakan, serta kebutuhan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Selain itu, ketiadaan standar dan regulasi yang seragam juga menjadi hambatan tersendiri dalam pelaksanaan LCA secara efektif.

“Kami menyimpulkan, bahwa LCA menyediakan kerangka kerja yang sistematis untuk mengevaluasi dampak lingkungan dari seluruh siklus hidup SAF, mulai dari produksi bahan baku hingga penggunaan akhir. LCA membantu mengidentifikasi jalur produksi SAF yang paling berkelanjutan, serta area hotspot di mana dampak  lingkungan dapat dikurangi,” kata dia.

Adapun hasil kajian LCA dapat menjadi landasan ilmiah dalam menetapkan kebijakan, menentukan arah investasi, dan mendorong inovasi teknologi dalam produksi SAF yang lebih efisien.  “Dengan mengintegrasikan LCA ke dalam proses pengambilan keputusan, kita dapat memastikan bahwa industri penerbangan melangkah ke arah yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan,” ujar Arif.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |