Peringatan 70 Tahun Konferensi Asia Afrika: Penguatan Solidaritas Global South

5 hours ago 2

TEMPO.CO, Bandung -Ketua ASEAN-China Research Center (ACRC), Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia (UI), Humprey Arnaldo Russel mengatakan, solidaritas Bandung yang dibangun sejak 70 tahun yang lalu lewat Konferensi Asia Afrika pada 1955 menjadi relevan untuk digalakkan kembali menghadapi situasi terkini dunia.

Ini termasuk ketegangan akibat perang dagang yang dipicu kebijakan tarif impor Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kalau solidaritas itu bisa dibangun kita mungkin bisa lebih siap untuk melawan apa yang misalnya dilakukan oleh Trump,” kata dia di sela acara International Academic Symposium Commemorating the 70th Anniversary of the Bandung Conference, di Bandung, Kamis, 24 April 2025.

Ia beralasan, gabungan negara-negara selatan-selatan atau Global South pada 2024 ini menguasai 57 persen GDP dunia. Melampaui GDP gabungan negara-negara utara-utara atau Global North. Dengan potensi tersebut, penguatan solidaritas negara-negara selatan-selatan bisa menjadi kekuatan pengimbang untuk menghadapi tekanan geopolitik global.

“Kita pernah melakukan itu pada 1955 ketika bangsa-bangsa kita lagi dijajah dengan spirit itu kita bangun solidaritas. Kalau bisa kita bangkitkan lagi, mungkin akan baik buat bagi kita,” kata Humprey.

Penguatan kerja sama negara-negara selatan-selatan menjadi tema dalam simposium akademik internasional yang digelar ACRC Universitas Indonesia bersama Schoolof International Relations and Public Affairs, Fudan University, di Bandung, pada Kamis, 24 April 2025.

Simposium internasional tersebut digelar sekaligus memperingati 70 tahun Konferensi Asia Afrika, dan sengaja mengambil tempat di Bandung, ibu kota Asia Afrika.

Humprey mengatakan, menggalang solidaritas negara-negara selatan-selatan bukan berarti mengambil posisi berlawanan dengan negara-negara utara-utara.

Namun, solidaritas negara-negara selatan-selatan untuk mendorong kehidupan antarnegara yang berkeadilan. “Menggalang kekuatan dari negara-negara Global South bukan berarti kita against Global North, enggak, kita cuma butuh keadilan,” kata dia.

Ia mencontohkan, mayoritas negara berkembang saat ini menjadi korban dari ancaman krisis ekonomi akibat perang dagang Amerika dan Cina. Solidaritas negara-negara selatan-selatan seharusnya bisa menjadi kekuatan penyeimbang menghadapi situasi global tersebut.

Namun, menggalang solidaritas Global South tidak mudah.

“Menurut saya negara-negara selatan-selatan ini susah sekali bersepakat. Padahal dulu kita bisa bersepakat. Di isu Palestina saja banyak negara-negara selatan-selatan yang enggak sehati,” kata Humprey.

Humprey mengatakan, yang menjadi kendala adalah kepentingan nasional masing-masing yang mendominasi. Di negara-negara ASEAN misalnya, Vietnam dan Indonesia punya kebijakan yang berseberangan tentang tarif impor.

Namun, wilayah ASEAN sendiri memiliki keuntungan sebagai wilayah yang terhitung paling aman di dunia.

“Dalam banyak literatur, konflik yang bisa menimbulkan sengketa di dunia adalah sengketa garis batas (negara), di kita enggak. Indonesia dan Malaysia damai saja. Itu yang diharapkan bisa di tiru oleh negara-negara lain bahwa kita harus bisa diskusi walaupun ada perbedaan,” kata dia.

Simposium akademik internasional tersebut menghadirkan sejumlah pembicara. Di antaranya Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan, Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno, Chairman of China Chamber of Commerce in Indonesia Sun Shangbin, Duta Besar Cina untuk Indonesia Wang Lutong serta Duta Besar Indonesia untuk Cina Djauhari Oratmangun.

Ada pula Duta Besar India untuk Indonesia Sandeep Chakravorty, Kepala Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Kementerian KKP Rita Tisiana Dwi Kuswardani, serta Deputi Bidang Pengembangan Strategis Ekonomi Kreatif Kementerian Ekonomi Kreatif Cecep Rukendi.

Sebagian pembicara memberikan pemaparan lewat daring.

Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, krisis dan kondisi global membuat negara-negara selatan-selatan harus bergerak bersama-sama. “Kita harus memperkuat kemitraan kita di seluruh Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk membentuk dunia yang lebih adil dan seimbang,” kata dia lewat tayangan video di simposium tersebut, Kamis, 24 April 2025.

Luhut mengatakan, kondisi ekonomi global dalam keadaan rapuh. Mengutip IMF economy outlook pada April 2024, proyeksi pertumbuhan ekonomi global hanya mencapai  3,2 persen pada  2025 dengan momentum yang lebih lambat pada negara-negara maju.

Sementara tekanan yang dihadapi negara-negara berkembang meningkat sejalan dengan meningkatnya persaingan ekonomi global dan inflasi.

Di tengah situasi tersebut, negara-negara Global South harus bersatu dan mengambil tindakan bersama-sama. Ia meyakini semangat Konferensi Asia Afrika 1955 masih relevan hingga saat ini.

“Saya percaya peran akademisi adalah penting. Pertemuan hari ini bukan hanya sebatas seremonial saja, ini adalah landasan untuk menghasilkan ide, membangun panduan dan kerangka kerja bagi kebijakan yang akan diambil," kata Luhut.

"Saya mendorong semua orang di sini untuk terlibat dalam solusi, dialog yang menghasilkan perubahan nyata. Mari kita renungkan lagi Spirit Bandung, bukan hanya menjadi sebuah refleksi tapi juga untuk memperbarui komitmen bersama untuk berkolaborasi untuk generasi nanti,” Luhut menambahkan.

Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno di kesempatan yang sama mengatakan, situasi dunia saat ini berbeda dengan 70 tahun yang lalu.

Negara-negara yang berpartisipasi dalam Konferensi Asia Afrika 1955 ada yang mengalami perkembangan pesat bahkan menjadi salah satu negara adi kuasa di dunia. Sementara masih banyak negara yang tidak berkembang dan masih tetap miskin.

“Namun ada yang masih tetap sama, yakni kepentingan bersama negara-negara non blok untuk menavigasi politik yang persuasif dalam situasi geopolitik yang sulit saat ini,” kata dia.

Arif mengatakan, perubahan yang terjadi yang tidak pernah dihadapi pada 1950-an yakni saat ini semua negara membicarakan tentang mineral kritis. “Kalau kita bicara negara berkembang, sebagian besar negara berkembang tertinggal dan ditinggalkan saat berbicara tentang isu mineral kritis,” kata dia.

“Tentu saja ada masalah-masalah lainnya yang tidak kalah penting seperti perubahan iklim, di mana negara-negara berkembang yang paling terpengaruh, lalu masalah digital gap, in adalah perkembangan baru yang harus kita cermati dengan hati-hati,” kata Arif.

Arif mengatakan, yang terbaru adalah isu tarif yang dipicu kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat pada banyak negara.

“Ini adalah tantangan, tapi juga kesempatan bagi negara-negara berkembang, negara nonblok untuk menciptakan ruang ekonomi di antara mereka sendiri agar tidak bergantung hanya pada satu atau dua pasar, tapi bergantung pada pasar dan perekonomian yang dibangun bersama-sama di antara negara-negara berkembang."

"Misalnya dengan memperdalam hubungan kerja sama antar negara, pengurangan tarif, serta membuka peluang untuk saling berinvestasi dan membuka akses perdagangan di antara negara-negara nonblok,” kata dia.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |