TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Tjandra Yoga Aditama mengingatkan cara pemberian obat asma terbaik, yakni dengan cara dihirup oleh pasien menggunakan alat bernama "inhaler".
"Cara pemberian obat asma terbaik adalah dengan memasukkannya ke dalam paru, dengan cara dihirup oleh pasiennya. Maka, digunakan alat yang namanya inhaler. Jadi, format terbaik penanganan asma adalah dengan inhaler, bukan tablet, kapsul atau sirup," kata dia melalui pesan teksnya yang diterima di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tjandra mengatakan, penanganan asma pada dasarnya yakni dengan memberi dua jenis obat, yaitu pencegah (controler) dan pelega (reliever). Obat pengontrol berfungsi untuk mengatasi peradangan/inflamasi yang menyebabkan terjadinya asma.
Apabila serangan asma sudah terjadi karena tidak tercegah dengan baik, maka pasien harus diberikan obat pelega dengan tujuan agar saluran napas yang menyempit dapat jadi melebar kembali. "Artinya, yang tadinya pasien mengeluh sesak maka jadi lega kembali," kata dia.
Data global menunjukkan setiap tahunnya ada 260 juta orang yang terdampak dengan asma, dan bahkan penyakit ini berhubungan dengan terjadinya 450 ribu kematian setahun.
Sementara itu, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan prevalensi asma di DKI Jakarta sebesar 2,6 persen atau lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 yakni 5,2 persen.
"Jadi, dampaknya jelas cukup besar, baik di dunia maupun juga di negara kita. Belum lagi, kalau dilihat dampak bahwa karena serangan asma, maka anak jadi tidak masuk sekolah, atau pekerja juga jadi tidak masuk kerja dan atau mengganggu produktivitasnya," jelas Tjandra.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah memberi perhatian penting pada pengendalian asma yang merupakan hal penting dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045.