TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung menyatakan akan mengajukan pemberhentian sementara terhadap Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, serta tiga hakim Tipikor PN Jakarta Pusat yang menjadi tersangka dalam kasus suap vonis lepas korupsi crude palm oil (CPO). Usulan pemberhentian disampaikan ke Presiden begitu MA menerima salinan resmi penetapan tersangka dan perintah penahanan dari Kejaksaan Agung.
“Kami menunggu penetapan tersangka dan surat penahanan. Setelah itu akan segera kami usulkan pemberhentian sementara kepada Presiden,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Sobandi dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 14 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain Arif Nuryanta, tiga hakim yang akan diberhentikan adalah Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Ketiganya mengadili perkara korupsi minyak goreng di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
MA menegaskan pemberhentian sementara akan berubah menjadi pemberhentian tetap jika kelak para hakim dinyatakan bersalah lewat putusan berkekuatan hukum tetap. “Kalau sudah inkracht, ya diberhentikan tetap,” ujar Juru Bicara MA Yanto.
Perkara CPO yang diputus oleh ketiga hakim itu melibatkan tiga korporasi besar: Permata Hijau Grup, Wilmar Grup, dan Musim Mas Grup. Ketiganya didakwa melakukan korupsi dalam pemberian izin ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya. Perkara ini teregister pada 22 Maret 2024 dalam tiga nomor terpisah, namun disidangkan oleh majelis yang sama.
Pada 19 Maret 2025, majelis menjatuhkan vonis onslag van alle recht vervolging, menyatakan perbuatan para terdakwa terbukti namun bukan tindak pidana. Putusan itu langsung memicu sorotan karena membebaskan tiga korporasi dari segala tuntutan hukum.
Kejaksaan Agung kemudian mendalami latar belakang putusan tersebut dan menemukan indikasi suap. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar, menyebut perkara bermula dari permintaan pengacara korporasi, Ariyanto Bakri, agar perkara diputus lepas dengan imbalan Rp 20 miliar. Tawaran itu disampaikan ke panitera muda PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, yang kemudian meneruskan ke Muhammad Arif Nuryanta.
Namun Arif justru menaikkan permintaan uang menjadi tiga kali lipat. “Muhammad Arif Nuryanta menyetujui permintaan vonis ontslag, tapi meminta agar uang suap ditingkatkan menjadi Rp 60 miliar,” kata Qohar dalam konferensi pers, Senin dinihari, 14 April 2025.
Ariyanto menyanggupi permintaan itu dan menyerahkan uang dalam bentuk dolar AS melalui Wahyu Gunawan. Uang tersebut kemudian diserahkan ke Arif, sementara Wahyu menerima USD 50 ribu sebagai jasa perantara.
Setelah menerima suap, Arif menunjuk tiga hakim yang kini menjadi tersangka sebagai majelis perkara. Mereka disebut menerima aliran dana miliaran rupiah secara bertahap. Djuyamto menerima Rp 6 miliar, Agam Syarif Rp 4,5 miliar, dan Ali Muhtarom Rp 5 miliar.
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka: Muhammad Arif Nuryanta, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, Wahyu Gunawan, serta dua pengacara—Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso.
Mahkamah Agung menyatakan prihatin atas perkara yang mencoreng wajah peradilan. “Ini terjadi di saat Mahkamah Agung sedang berbenah,” kata Yanto. Ia mengklaim bahwa MA akan memproses disiplin dan etik para tersangka, selaras dengan perkembangan proses pidana.