TEMPO.CO, Yogyakarta - Wisatawan yang hobi melancong ke Yogyakarta umumnya mengenal merek kaus oleh-oleh khas daerah itu, Dagadu. Dengan ciri khas tulisan kalimat nyleneh diwarnai gambar sederhana namun lucu, merek lokal yang lahir pada 1994 itu banyak diburu wisatawan. Namun itu dulu, setidaknya sampai awal 2000-an.
Bos Dagadu, Mia Argianti, tak menampik bahwa saat ini persaingan industri cendera mata yang menjadi satu penopang pariwisata di Yogyakarta kian ketat. Karena itu, Dagadu yang berasal dari walikan aksara Jawa yang berarti "matamu" itu juga harus berubah, meskipun tak meninggalkan "kenakalannya" dalam bermain narasi sederhana namun menggelitik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dagadu mau tak mau harus terus berevolusi agar terus hidup," kata Mia di sela perhelatan fashion show menyambut HUT ke-31 Dagadu di kawasan Benteng Vredeburg Yogyakarta pada Jumat malam, 25 April 2025.
Bidik Wisatawan Muda
Mia menuturkan, pasar Dagadu saat ini paling besar berusia 30 tahun ke atas atau kalangan Generasi Z - Milenial. Dalam sebuah survei internal yang dilakukan perusahaan suvenir itu belum lama ini, brand tersebut masih kurang dikenal pada kelompok masyarakat usia di bawah 30 tahun.
Hal ini membuat Dagadu merombak tim kreatifnya agar lebih membidik pasar yang masih belum banyak terjangkau itu. Sebab, kalangan wisatawan saat ini juga didominasi kelompok usia muda. Terlebih Yogyakarta gudangnya pelajar dan mahasiswa yang usianya di rentang 15-25 tahun.
Angkat Narasi Sosial
Salah satu cara yang dilakukan Dagadu dengan tak lagi hanya bermain di kaus-kaus bernuansa tourism-siganture. Dulu, Dagadu hanya menonjolkan ikon Yogya seperti Malioboro atau Tugu Yogya. Tapi kini, Dagadu mulai membidik narasi sosial, atau situasi yang banyak dialami anak-anak muda saat ini tanpa meninggalkan warna Jogja-nya.
Misalnya saja, salah satu desain kaus Dagadu berjudul KPR. Singkatan KPR yang seharusnya Kredit Pemilikan Rumah diplesetkan menjadi Kapan Punya Rumah di desain itu. Gambarnya berupa ilustrasi seorang pemuda sedang memegangi kepala dan menutup wajahnya. Desain itu mengangkat persoalan sulitnya anak muda atau usia produktif saat ini mendapatkan rumah karena harga tanah kian mahal sementara upah masih sangat rendah.
Desain lainnya, Dagadu menampilkan narasi bertajuk "Kita Serakah, Mereka Punah" yang mengangkat pentingnya pelestarian alam. Desain itu jadi menarik karena diilustrasikan tengkorak-tengkorak hewan dengan lingkaran menyala di kepala dan bersayap seperti malaikat.
“Dalam evolusi ini kami ingin menjadikan Dagadu bukan sekadar oleh-oleh, tetapi semacam fashion statement —ikon gaya hidup yang berakar pada budaya sendiri," kata dia.
Meski mulai banyak memainkan narasi sosial yang kerap jadi perhatian anak muda, Dagadu, kata Mia, tetap memperbaharui jenis-jenis desain tourism signature-nya. Salah satunya, mereka mengambil ikon Monumen Serangan Oemoem 1 Maret yang ada di Benteng Vredeburg dengan gaya kartunis yang lebih seru dan penuh warna.
Mia menambahkan, sebenarnya isu perlambatan ekonomi ini tak sepenuhnya mempengaruhi penjualan souvenir seperti kaus atau pakaian. Ia mengambil sampel sebuah brand pakaian asal Bali yang tetap banjir pesanan di marketplace meski membanderol harga Rp 500 ribu per biji.
Masuk Pasar Online
Dagadu, kata Mia, selama ini masih sangat mengandalkan pasar offline-nya. Sebesar 80 persen penjualan berasal dari pembelian langsung di sejumlah gerai yang tersebar di Yogyakarta dan kota lain seperti Jakarta. "Kami baru sekali untuk masuk pasar online, ini yang sedang kami kejar," kata dia.
Dalam gelaran fashion di Vredeburg itu, warga dan wisatawan yang sedang memadati kawasan Titik Nol Kilometer disuguhi pameran desain baru koleksi Dagadu bertajuk Crafted with Stories – Merangkai Jejak Menjahit Makna. Koleksi dari desain baru ini antara lain Special Collection (Berkembang, KPR, Serakah Punah, Plastic Toxic, Hamemayu), Jogja Series (Kasongan, Nasi Tery, Ramah Marah), dan Teen Series (Home dan Tamagotchi). Band Ska asal Yogyakarta Shaggydog turut memeriahkan gelaran itu.