Amnesty International Indonesia Desak Pemerintah Revisi UU ITE Secara Menyeluruh

6 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia turut menanggapi putusan terbaru yang diterbitkan Mahkamah Konstitusi soal sejumlah pasal dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai perlu adanya intervensi lebih lanjut dari pemerintah dan DPR atas putusan tersebut.

“Pemerintah, parlemen, dan aparat penegak hukum memiliki kewajiban konstitusional untuk menindaklanjuti putusan ini dengan mengevaluasi dan merevisi UU ITE secara menyeluruh termasuk pasal-pasal bermasalah lainnya,” kata Usman, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Rabu, 30 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Revisi tersebut, Usman memberi contoh, termasuk atas pasal tentang ujaran kebencian dan penodaan agama yang sering dijadikan sebagai alat kriminalisasi ekspresi damai baik di ruang fisik maupun digital. Di samping itu, ia juga mendesak penghapusan atau pengubahan aturan-aturan lain yang membuka ruang kriminalisasi terhadap ekspresi warga. “Agar tidak lagi digunakan sebagai alat pembungkam suara-suara kritis,” kata dia.

Berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia, selama periode 2019-2024, tercatat minimal 530 kasus penggunaan UU ITE untuk mengkriminalisasi kebebasan berpendapat, dengan total 563 korban. Sebagian besar tindakan ini dilakukan oleh patroli siber Polri (258 kasus, 271 korban) dan diikuti oleh laporan dari Pemerintah Daerah (63 kasus, 68 korban).

Mahkamah Konstitusi sebelumnya mengeluarkan Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024. Lewat putusan ini, MK mengatakan pasal menyerang kehormatan dalam UU ITE tidak berlaku untuk pemerintah, kelompok masyarakat, hingga korporasi. MK menyatakan yang dimaksud frasa "orang lain" dalam Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 itu adalah individu atau perseorangan.

MK menyebutkan, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27A Undang-Undang ITE harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat. "Sepanjang tidak dimaknai kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat pada Selasa, Kamis, 29 April 2025.

Mahkaman Konstitusi juga memutuskan tindakan menyebarkan berita bohong atau hoaks menggunakan sarana teknologi informasi dapat dipidana jika menimbulkan kerusuhan di ruang fisik, bukan di ruang digital atau siber. Itu merupakan penjelasan MK atas makna kata “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.

MK menyatakan bahwa kerusuhan atau keributan di ruang digital atau siber tidak masuk dalam delik pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal itu dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang putusan perkara nomor 115/PUU-XXII/2024. Permohonan pengujian materi UU ITE ini diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar.

Amnesty International Indonesia mengapresiasi langkah MK itu sebagai lembaga yudikatif yang berperan dalam mengurangi risiko pelanggaran HAM lewat penggunaan pasal pencemaran nama baik oleh negara dan korporasi secara sewenang-wenang. Meski demikian, ia memandang putusan MK tersebut semakin menegaskan bahwa terdapat masalah kronis dalam implementasi UU ITE di masyarakat.

“Ancaman terhadap kebebasan berekspresi akan tetap ada sebelum pemerintah dan DPR merevisi pasal pencemaran nama baik tersebut agar menutup celah bagi siapapun menyalahgunakannya untuk membungkam kritik di masyarakat,” ujarnya.

Di samping itu, Usman memandang putusan MK sebagai momentum bagi negara untuk memperbaiki relasi antara negara dan warga negara. Dalam hal ini, negara dapat menunjukkan kehadirannya sebagai pelindung hak-hak warga, termasuk kebebasan berekspresi, bukan sebagai pihak yang menindas kebebasan tersebut. 

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |