TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi menegaskan tidak bisa berjalan sendiri dalam mengimplementasikan programnya. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikti Khairul Munadi menyatakan kementeriannya membutuhkan mitra-mitra.
Ketika ditanya mengenai kerja sama dengan TNI, Khairul tidak menjelaskannya secara gamblang. Ia menjawab pertanyaan soal kerja sama Kemendikti dan TNI itu dalam diskusi soal pengenalan program ‘Kampus Berdampak’.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Khairul, Kemendikti sudah melakukan beberapa sinergi dengan kementerian dan lembaga terkait. “Kami memang menyesuaikan dengan kebutuhan kami. Dan memang kami harap perguruan tinggi juga seperti itu, dan ya semuanya bermuara pada penyelesaian persoalan-persoalan yang ada di daerah,” katanya di kantor Kemendikti, Senayan, Jakarta Pusat, pada Selasa, 29 April 2025.
Khairul memberikan beberapa contoh kerja sama yang dijalin oleh Kemendikti. Misalnya bersama dengan Kementerian Pertanian untuk Ketahanan Pangan dan Kementerian Kesehatan untuk pemenuhan tenaga dokter, spesialis dan lain sebagainya.
Adapun Kampus Berdampak adalah konsep Kemendikti era Presiden Prabowo Subianto yang diproyeksikan untuk kampus, supaya dapat menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks. Perguruan tinggi dituntut aktif memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan lingkungan.
Kekhawatiran TNI masuk kampus muncul setelah Mendiktisaintek Brian Yuliarto menyebut tak ada masalah apabila TNI dilibatkan untuk berkolaborasi dengan kampus. Brian menyampaikan hal itu usai rapat kerja tertutup bersama Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 23 April 2025. Dia menanggapi ramainya pemberitaan mengenai kehadiran aparat TNI di lingkungan sejumlah kampus.
Masuknya TNI ke lingkungan kampus terjadi misalnya saat Universitas Udayana di Bali menjalin kolaborasi dengan Komando Daerah Militer (Kodam) IX/Udayana melalui penandatanganan perjanjian dengan nomor B/2134/UN14.IV/HK.07.00/2025. Rektor Universitas Udayana I Ketut Sudarsana kemudian mengirim surat pembatalan kerja sama setelah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unud menolak. BEM Unud menilai keputusan itu merupakan alasan membuka peluang militer mendominasi pendidikan sipil.
Kemudian, sejumlah anggota TNI hadir dalam sebuah forum diskusi bertajuk "Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-Bayang Militer bagi Kebebasan Akademik" yang diadakan oleh Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KMSW). Kegiatan ini berlangsung di Kampus 3 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Kota Semarang, pada Senin, 14 April 2025.
TNI masuk kampus juga terjadi di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Prajurit militer itu datang ketika mahasiswa menggelar acara konsolidasi nasional pada Rabu malam, 16 April 2025. Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf menilai bahwa tindakan tentara masuk kampus menghidupkan kembali pola-pola yang terjadi di zaman Orde Baru.
Al Araf mengatakan, kehadiran militer di lingkungan kampus membahayakan kelangsungan kebebasan akademik. "Kampus memiliki kebebasan akademik dan militer tidak dalam ruang itu," kata dia dalam diskusi daring bersama Pusat Riset Politik BRIN, pada Kamis, 24 April 2025.
Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia Brigadir Jenderal Kristomei Sianturi mengatakan, dalam hal isu TNI masuk kampus, tidak ada perintah kepada prajurit bertindak represif dan mengintimidasi pada pihak perguruan tinggi, termasuk mahasiswa. “Tidak ada perintah, saya ulangi, tidak ada perintah kita untuk represif, tidak ada perintah kita untuk mengintimidasi, apalagi mencampuri urusan internal kampus,” ucap Kristomei di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, seperti dikutip dari Antara, Kamis, 24 April 2025.
Sekretaris Jenderal Kemendikti Saintek Togar Mangihut Simatupang mengatakan keterbukaan informasi di era saat ini memungkinkan semua unsur, termasuk TNI, untuk berinteraksi dengan komunitas akademik dalam koridor validasi ilmiah yang dapat diuji. Karena itu, menurut Togar, anggapan bahwa keterlibatan TNI akan mengarah pada normalisasi kekuasaan di kampus tidak berdasar.
"Kekhawatiran soal normalisasi kelihatannya berlebihan, karena saat ini semua unsur punya kesempatan yang sama untuk berkembang, dan keterbukaan informasi memungkinkan validasi publik secara luas," kata Togar pada Ahad, 27 April 2025.