Sederet Temuan Kejagung soal Suap Hakim di Perkara Korupsi Minyak Goreng

1 day ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung membeberkan sejumlah temuan dalam kasus dugaan suap hakim pada penanganan perkara korupsi pemberian izin ekspor crude palm oil (CPO) atau korupsi minyak goreng di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kejagung menetapkan tiga orang hakim sebagai tersangka baru pada Ahad, 13 April 2025 yang menjadikan daftar tersangka pada kasus tersebut saat ini berjumlah tujuh orang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga hakim tersebut adalah DJU (Djuyamto), ASB (Agam Syarif Baharudin), dan AM (Ali Muhtarom). Sementara empat tersangka lain yang telah lebih dulu ditetapkan adalah Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), pengacara Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR), serta panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan (WG).

Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung Abdul Qohar dalam putusannya menyampaikan, tim penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap beberapa orang di Kantor Kejaksaan Agung sejak Sabtu, 12 April 2025 pukul 00.00 WIB. “Yakni tiga hakim yang ditetapkan sebagai tersangka serta saksi atas nama DAK dan LK selaku staf legal PT Daya Labuhan Indah Grup Wilmar, serta AH dan TH selaku Karyawan Indah Kusuma,” kata Qohar dalam konferensi pers di Kantor Kejagung RI, Jakarta Selatan pada Senin dini hari, 14 April 2025.

Dari pemeriksaan para saksi, terungkap praktik suap bermula dari kesepakatan antara tersangka AR selaku pengacara tersangka korporasi dalam kasus ini dengan tersangka WG untuk mengurus perkara korupsi tiga korporasi minyak goreng. Tersangka korporasi meminta agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp 20 miliar. 

Selanjutnya, kesepakatan tersebut disampaikan WG kepada tersangka MAN agar perkara tersebut diputus onslag. Permintaan itu kemudian disetujui MAN dengan meminta imbalan berupa Rp 20 miliar tersebut dikali tiga sehingga totalnya menjadi Rp 60 miliar.

Tersangka AR yang mendapatkan informasi tersebut dari WG, menyanggupi dan menyerahkan uang Rp 60 miliar dalam mata uang dolar AS melalui WG. Oleh WG, uang tersebut selanjutnya diberikan kepada MAN. Atas jasanya sebagai perantara, WG diberi uang senilai 50 ribu dolar AS oleh MAN. “Jadi, Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” kata Qohar.

Setelahnya, Qohar meneruskan, uang tersebut diterima oleh MAN yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menunjuk anggota majelis hakim yang terdiri dari tersangka DJU sebagai ketua majelis, tersangka ASB sebagai anggota majelis, dan tersangka AM sebagai hakim ad hoc.

Setelah terbit penetapan sidang, MAN memanggil DJU dan ASB untuk kemudian memberikan uang dolar senilai Rp 4,5 miliar dengan tujuan untuk uang baca berkas perkara. MAN juga meminta kepada dua hakim tersebut agar perkara itu diatensi. “Uang Rp 4,5 miliar tersebut dimasukkan ke dalam goodie bag yang dibawa oleh ASB, kemudian dibagi tiga untuk dirinya, DJU, dan AL,” tutur Qohar.

Beberapa waktu kemudian, pada September atau Oktober 2024, MAN kembali memberikan uang dolar AS yang apabila dirupiahkan senilai Rp 18 miliar kepada DJU. Uang dolar AS tersebut kembali dibagi tiga kepada majelis hakim yang jika dirupiahkan untuk dirinya senilai Rp 6 miliar, untuk ASB sebesar Rp 4,5 miliar, dan untuk AM sebesar Rp 5 miliar.

Atas perbuatan mereka, para tersangka disangkakan melanggar pasal berlapis. Qohar menyebutkan, yakni Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 B juncto Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 juncto Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |