TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, mencurigai gratifikasi di Kementerian Pekerjaan Umum memiliki unsur paksaan. Alasannya, karena praktik ini terdapat permintaan uang dari pejabat kepada anak buah di lingkungan Kementerian PU.
"Kalau ini bersifat memaksa permintaan dari atas ke bawah itu bisa berubah menjadi pemerasan," ucap Zaenur saat dihubungi Tempo pada Ahad, 1 Juni 2025.
Meski tidak memiliki unsur paksaan, menurut dia, perbuatan tersebut tetap termasuk praktik gratifikasi. Sebab, para pegawai di Kementerian PU harus mencari sumber dana yang harus disetorkan kepada atasannya. "Mencari dari vendor, mencari dari pihak yang punya urusan dengan kewenangan jabatannya. Pemohon izin, atau yang diawasi, dan seterusnya," kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain Zaenur, peneliti Pukat UGM Yuris Rezha Kurniawan turut menduga praktik gratifikasi di lingkungan Kementerian PU merupakan bentuk pemerasan. Sebab berdasarkan hasil investigasi Inspektorat Jenderal, penyelenggara negara diduga meminta uang untuk kepentingan pribadi. "Harus diperdalam, apakah ini berdasarkan permintaan atau memang inisiatif pemberian," kata Yuris saat dihubungi Sabtu, 31 Mei 2025.
Yuris menjelaskan, terdapat sejumlah kondisi gratifikasi diperbolehkan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019. Dalam Pasal 2 ayat (3), tercantum 17 kategori gratifikasi yang dianggap diperbolehkan, salah satunya dalah pemberian dalam rangka pernikahan. "Dengan nominal maksimal 1 juta setiap pemberi," kata dia.
Yuris menegaskan, gratifikasi yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam aturan itu adalah pemberian secara sukarela. Jika dalam kasus di Kementerian PUPR terbukti uang tersebut bukan diberikan, melainkan diminta maka tidak bisa dianggap sebagai gratifikasi. Bahkan perbuatan itu berpotensi masuk dalam kategori pemerasan atau suap.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut praktik gratifikasi di Kementerian Pekerjaan Umum. Juru bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan pengusutan itu berdasarkan laporan investigasi dari Inspektorat Jenderal Kementerian PU.
"Modus permintaan uang oleh salah seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri, kepada pegawai di jajarannya, yang akan digunakan untuk kepentingan pribadi," ucap Budi dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 30 Mei 2025.
Ia mengatakan lembaganya akan melakukan koordinasi dengan Kementerian PU ihwal laporan gratifikasi tersebut. Kerja sama ini untuk menganalisis hasil temuan praktik gratifikasi yang terjadi di lingkungan Kementerian PU.
Menteri PU Dody Hanggodo mengaku telah menerima laporan dari anak buahnya tentang kasus gratifikasi ini. Dody juga telah menyuruh Inspektorat Jenderal Kementerian PU untuk menindaklanjuti laporan gratifikasi tersebut. "Belum terima laporan lebih lanjutnya dari Pak Irjen," ucap Dody di kantornya pada Rabu, 28 Mei 2025.
Dia mengatakan bahwa saat ini kementeriannya juga sedang memproses laporan praktik gratifikasi yang terjadi di Kementerian PU. Namun, Dody enggan membeberkan identitas pejabat yang melakukan gratifikasi tersebut.
"Kalau misalnya dirasa sama Irjen itu nanti memang ada unsur pidana, pasti dia limpahkanlah ke KPK, kejaksaan, atau kepolisian untuk tindaklanjut secara pidananya," kata Dody.
Ia juga enggan berspekulasi terhadap potensi pemeriksaan kasus dugaan gratifikasi ini menuju ranah pidana. Dody hanya ingin mengedepankan asas praduga tak bersalah ihwal persoalan tersebut. "Maksudnya gini, per posisi detik ini kami semua masih berbaik sangka. Jadi biar kemudian nanti proses itu bergulir terus," ucap dia.
Meski begitu, ia mengatakan bahwa setiap pejabat di Kementerian PU dan berbagai instansi lainnya selalu diawasi oleh Tuhan dalam melakukan suatu tindakan. "Saya kemarin sudah berkali-kali bicarakan bahwa ya terutama insan PU. Tiap detik itu menghadirkan Tuhan di hatinya. Enggak ada lagi yang bisa mengawasi kecuali Tuhan, bukan KPK, bukan Jaksa, bukan Polisi," kata Dody.