Penjurusan Kembali di SMA Berdampak Psikologis Bagi Siswa

1 day ago 1

TEMPO.CO, Jakarta -- Rencana pemerintah mengembalikan sistem penjurusan di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dikhawatirkan menjadi beban psikologis. Sebab siswa harus kembali menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan yang lama.

Pengamat pendidikan Doni Koesuma mengatakan, perubahan kebijakan pendidikan seperti penjurusan adalah hal yang wajar. Namun, ia mengkritik ketidakkonsistenan arah kebijakan yang dianggap justru bisa berdampak buruk pada pola belajar siswa. “Selama era Nadiem Makarim, anak-anak merasa nyantai, tidak perlu belajar. Serta, tidak ada ujian yang objektif,” ujar Doni Koesuma kepada Tempo, Senin, 14 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini para siswa saat ini tengah menjalani Kurikulum Merdeka yang memberikan keleluasaan mereka memilih mata pelajaran. Kebijakan Kurikulum Merdeka dikeluarkan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim.  

Doni mengatakan, dalam sistem Kurikulum Merdeka, siswa diperbolehkan memilih mata pelajaran tanpa terikat jurusan. Sayangnya, pilihan tersebut tidak diimbangi dengan evaluasi akademik yang memadai karena ujian nasional telah dihapus dan seleksi masuk perguruan tinggi tidak mempertimbangkan hasil belajar sesuai minat siswa. “Selama ini, seleksi masuk perguruan tinggi tidak menguji pelajaran sesuai jurusan. Jadi pemerintah tidak tahu bagaimana kualitas hasil belajar mereka,” katanya.

Kebijakan penjurusan kembali muncul. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengatakan pemerintah akan kembali menerapkan sistem penjurusan untuk sekolah menengah atas atau SMA. Sistem penjurusan ini sebelumnya dihapus dalam penerapan Kurikulum Merdeka yang digagas Menteri Nadiem Makarim. Jurusan akan kita hidupkan lagi, jadi nanti akan ada jurusan IPA, IPS, dan Bahasa,” ujarnya dalam acara tanya-jawab bersama awak media di Kantornya, Jakarta Pusat, Jumat, 11 April 2025.

Rencana pengembalian penjurusan ini seiring dengan hadirnya kembali Tes Kompetensi Akademik berbasis rumpun ilmu sebagai bagian dari seleksi masuk perguruan tinggi. Menurut Doni, kebijakan tersebut merupakan koreksi atas lemahnya sistem evaluasi di era sebelumnya. Meski begitu, ia menegaskan, perubahan kebijakan yang mendadak mungkin dapat menyulitkan siswa dan guru yang sudah terbiasa dengan fleksibilitas Kurikulum Merdeka. “Ada beban psikologis bagi mereka yang tidak serius belajar atau mengajar. Apalagi sebelumnya tidak ada tekanan dari sistem untuk belajar sungguh-sungguh,” ujarnya.

Menurut Doni, dampak terbesar dari perubahan ini adalah hilangnya motivasi belajar selama sistem yang longgar berlangsung. Kini siswa harus beradaptasi kembali dengan sistem yang lama. Meski begitu, Doni menyambut baik kebijakan yang direncanakan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti. “Sistem seleksi sebelumnya membuat anak-anak malas belajar, universitas pun kesulitan menyeleksi calon mahasiswa terbaik,” ujarnya.

Dihubungi secara terpisah, pengamat pendidikan lainnya, Ina Liem, mengkritisi perubahan kebijakan ini sebagai gejala dari absennya arah pendidikan nasional yang jelas dan berkelanjutan. Ia menekankan pentingnya negara memiliki visi pendidikan jangka panjang yang tidak bergantung pada siapa menteri yang menjabat.

“Masalah utama dalam kebijakan pendidikan Indonesia bukan semata soal siapa menterinya. Isu utamanya adalah tidak adanya Garis-Garis Besar Haluan Negara khusus untuk pendidikan yang bersifat jangka panjang dan lintas pemerintahan,” ujar Ina.

Ia menyatakan perubahan mendasar yang terjadi setiap pergantian menteri kerap terjadi tanpa transisi yang memadai. “Akibatnya, siswa dan guru yang menjadi ujung tombak sistem justru menjadi korban dari inkonsistensi tersebut,” kata Ina.

Ina mendorong agar pemerintah menyusun cetak biru atau blueprint pendidikan nasional yang bisa menjadi rujukan lintas pemerintahan dan lintas partai politik. Menurut dia, visi pendidikan harus disiapkan untuk jangka panjang, minimal 20 hingga 50 tahun ke depan, dan mampu menjawab tantangan zaman.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |