TEMPO.CO, Jakarta - Malaria yang disebabkan parasit bersel tunggal dari genus plasmodium yang ditularkan ke manusia, sering terjadi melalui gigitan nyamuk Anopheles.
Hari Malaria Sedunia yang diperingati setiap tanggal 25 April digunakan untuk menyoroti beban penyakit ini bagi dunia dan untuk meningkatkan kesadaran akan upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit malaria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari Malaria Sedunia yang pertama kali diadakan pada tahun 2008 ini dikembangkan dari Hari Malaria Afrika yang telah diperingati sejak tahun 2001 oleh pemerintah Afrika. Peringatan tersebut menjadi waktu untuk menilai kemajuan menuju sasaran yang ditujukan untuk mengendalikan malaria dan mengurangi angka kematiannya di negara-negara Afrika.
Dilansir dari Britannica, pada tahun 2007 tepatnya sesi ke-60 Majelis Kesehatan Dunia dibawah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), awal usulan agar Hari Malaria Afrika diubah menjadi Hari Malaria Sedunia untuk mengakui keberadaan malaria di negara-negara di seluruh dunia dan untuk meningkatkan kesadaran terhadap perang global melawan penyakit tersebut.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ,Ban Ki-moon mendorong pembentukan Rencana Aksi Malaria Global sebagai strategi terpadu yang agresif dari pengendalian, eliminasi, dan penelitian dirancang untuk mengurangi kejadian malaria di seluruh dunia dengan sasaran jangka panjang pemberantasan penyakit secara global pada tahun 2015.
Penelitian untuk mengembangkan obat baru dan pendekatan baru untuk pencegahan merupakan hal mendasar bagi upaya yang ditujukan untuk mengendalikan dan kemudian menghilangkan malaria dari daerah yang sangat terdampak oleh penyakit tersebut. Namun, kemajuan menuju sasaran ini melambat secara signifikan karena pendanaan dan perawatan kesehatan yang tidak memadai, terutama di daerah yang sulit dijangkau, bahkan pada tahun 2019, tingkat infeksi di sebagian besar tetap tidak berubah, dan analisis tren globalnya pemberantasan baru dapat dicapai pada tahun 2050.
Guru besar Prodi Farmasi FIKES Esa Unggul, Prof. Maksum Radji dilansir dari laman resmi Universitas Esa Unggul menyampaikan bahwa dari World Malaria Report yang diterbitkan pada Desember 2022, malaria telah merenggut nyawa sekitar 619.000 orang pada tahun 2021 yang terjadi peningkatan sekitar 247 juta kasus baru malaria pada tahun 2021 dibandingkan dengan 245 juta pada tahun 2020.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 94 persen dari semua kematian akibat malaria terjadi di Afrika, dengan kasus terbanyak pada anak di bawah 5 tahun. Kematian akibat malaria biasanya berhubungan dengan satu atau lebih komplikasi serius, termasuk malaria otak. Komplikasi lain yakni masalah pernapasan akibat cairan yang terkumpul di paru-paru juga dapat membuat pasien sulit bernapas, lalu kegagalan organ karena malaria dapat merusak ginjal, hati, atau menyebabkan limpa pecah.
Selain itu, anemia juga bisa terjadi karena malaria dapat mengakibatkan pasien tidak memiliki cukup sel darah merah untuk pasokan oksigen yang cukup ke jaringan tubuh. Kondisi malaria yang parah dapat menyebabkan gula darah rendah yang dapat menyebabkan koma atau kematian.
Untuk pencegahan, WHO menyampaikan bahwa orang yang tinggal atau sedang bepergian ke daerah yang sering terjadi malaria disarankan mengambil langkah-langkah untuk menghindari gigitan nyamuk dengan menutupi kulit, misalnya dengan baju lengan panjang, celana panjang, dan menyelipkan baju serta celana ke kaus kaki, mengoleskan obat nyamuk ke kulit, dan memasang kelambu pada tempat tidur serta konsultasi dokter sebelumnya tentang apakah harus atau tidaknya minum obat sebelum, selama, dan setelah perjalanan untuk membantu melindungi diri dari parasit malaria.