Ini Sebab Perpol 3 Tahun 2025 Dinilai Batasi Kebebasan Pers

6 days ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menandatangani Peraturan Kepolisian atau Perpol Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian terhadap Orang Asing pada 10 Maret 2025.

Namun beleid yang baru dipublikasikan pekan ini tersebut, langsung menuai kecaman karena dinilai sebagai kontrol dan pengawasan terhadap kerja-kerja jurnalis alias membatasi kebebasan pers.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal ini Pasal 5 ayat (1) huruf b menyebutkan tentang penerbitan surat keterangan kepolisian terhadap orang asing yang melakukan kegiatan jurnalistik dan penelitian pada lokasi tertentu.

Di samping itu, dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa penerbitan surat keterangan kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b diterbitkan berdasarkan permintaan penjamin dan penerbitan surat keterangan kepolisian tidak dipungut biaya.

Dewan Pers langsung merekomendasikan peninjauan kembali Perpol 3/2025 tersebut, karena walau dinyatakan untuk memberikan pelayanan dan perlindungan, namun ketentuan ini dapat dimaknai pula sebagai kontrol dan pengawasan terhadap kerja-kerja jurnalis.

"Dewan Pers merekomendasikan peninjauan kembali Perpol 3/2025," kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, 4 April 2025, seperti dikutip Antara.

Dewan Pers berpandangan bahwa Perpol 3/2025 secara substantif potensial melanggar prinsip-prinsip pers yang demokratis, profesional, independen, menjunjung tinggi moralitas dan mengedepankan asas praduga tidak bersalah. Prinsip tersebut dijalankan sebagai wujud upaya memajukan, memenuhi dan menegakkan kemerdekaan pers.

Dewan Pers juga menyesalkan penerbitan Perpol 3/2025 yang tidak partisipatif dengan tidak melibatkan Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), organisasi jurnalis dan perusahaan pers, mengingat salah satu klausula yang diatur adalah kerja-kerja jurnalistik.

Ninik menyebut Perpol 3/2025 bertentangan dengan pengaturan yang lebih tinggi yaitu pada bagian pertimbangan tidak mempertimbangkan UU No. 40/1999 tentang Pers dan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran.

Padahal dalam Perpol ini antara lain mengatur kerja jurnalistik, yang meliputi 6M, yakni mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyiarkan berita yang telah diatur secara gamblang dalam UU Pers, dan dalam fungsi pengawasan menjadi kewenangan Dewan Pers, termasuk bagi jurnalis asing.

Dewan Pers juga menilai Perpol No. 3/2025 membingungkan karena penggunaan pertimbangan merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni pada Pasal 15 Ayat (2) bahwa Kepolisian berwenang melakukan pengawasan fungsional terhadap orang asing dengan koordinasi instansi terkait, namun tidak merujuk pada UU Nomor 63 Tahun 2024 tentang Keimigrasian bahwa pemberi ijin masuk WNA, termasuk jurnalis ke Indonesia, adalah Imigrasi.

"Pengaturan Perpol 3/2025 akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga, memperpanjang jalur birokrasi untuk beraktivitas di Indonesia dan potensi menjadi komoditas oleh oknum aparat penegak hukum," kata Ninik.

Ancam Kebebasan Pers

Ketua AJI Indonesia Nani Afrida mengatakan aturan jurnalis asing harus memiliki surat keterangan polisi tersebut jelas mengancam kebebasan pers. Apalagi, aturan itu dibuat dengan tidak merujuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Dalam meliput, jurnalis tidak ada batasan,” kata Nani pada Rabu.

Dia mengatakan, hingga saat ini, tidak ada ketentuan yang mewajibkan jurnalis meliput di lokasi-lokasi yang ditentukan. Jurnalis memiliki hak menjalankan tugasnya di mana pun selagi mengikuti ketentuannya. Nani melanjutkan ketentuan itu diatur melalui visa jurnalis sesuai negara yang dituju. Namun tidak ada ketentuan yang mencantumkan batasan jangkauan area liputan bagi jurnalis.

Nani khawatir penerapan ketentuan itu akan menyebabkan pandangan jurnalis asing terhadap Indonesia semakian memburuk. “Bisa muncul asumsi ada yang tidak beres, dan Indonesia berupaya menutupinya dengan ketentuan ini,” ujar dia.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Mustafa Layong mengkritik soal permintaan surat keterangan kepolisian terhadap orang asing yang melakukan kegiatan jurnalistik dan penelitian pada lokasi tertentu. Menurut dia, pengawasan terhadap orang asing merupakan tugas yang semestinya diemban oleh Imigrasi.

"Ini merupakan bentuk abuse dari tugas dan fungsi kepolisian," kata Mustafa kepada Tempo, Rabu, 2 April 2025. "Frasa lokasi tertentu ini bisa saja diartikan untuk melindungi lokasi proyek strategis nasional (PSN) atau lokasi yang dianggap penting oleh pemerintah.”

Mustafa menyebut, Indonesia sebagai negara demokrasi harus menerapkan prinsip HAM universal. Prinsip ini semisal menjaga dan menjunjung tinggi kemerdekaan pers kepada setiap insan, termasuk mereka jurnalis asing. Mustafa curiga kalau aturan ini dibuat untuk membatasi ruang dan gerak jurnalistik.

Dalih Polisi Terbitkan Perpol 3/2025

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho mengatakan, Peraturan Kepolisian Nomor 3 Tahun 2025 yang mengatur soal pengawasan terhadap warga negara asing untuk melindungi orang asing yang berkegiatan di Indonesia, semisal para jurnalis dan peneliti asing.

“Dasar penerbitan Perpol Nomor 3 Tahun 2025 itu untuk melayani dan melindungi warga negara asing yang sedang bertugas di seluruh Indonesia, misalkan di wilayah rawan konflik,” kata Sandi melalui keterangan tertulisnya kepada Tempo, Kamis, 3 April 2025.

Sandi menegaskan kalau surat keterangan kepolisian ini tidaklah wajib untuk diurus oleh jurnalis asing

“Tanpa surat keterangan kepolisian, jurnalis asing tetap bisa melaksanakan tugas di Indonesia, sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar jenderal bintang dua itu.

Dia pun menerangkan bahwa dalam peraturan itu tidak ada frasa wajib yang mengharuskan jurnalis asing memiliki surat keterangan kepolisian (SKK) sebelum beraktivitas di Indonesia.

Adapun untuk menerbitkan surat keterangan kepolisian, kata Sandi, penjamin dari warga negara asing itu bisa mengurusnya secara sukarela ke instansi kepolisian. Bahkan jurnalis asing yang akan bertugas itu tidak wajib untuk datang. “Dalam penerbitan surat keterangan kepolisian, yang berhubungan dengan polisi adalah pihak penjamin, bukan warga negara asing atau jurnalis asing itu,” ucap Sandi.

Sandi mengatakan, Peraturan Kepolisian Nomor 3 Tahun 2025 dibuat untuk melindungi dan melayani warga negara asing yang sedang berkegiatan di Indonesia. Dengan adanya surat keterangan kepolisian, jurnalis maupun peneliti asing akan lebih aman dan terjamin keselamatannya selama berkegiatan. “Peraturan Kepolisian ini dibuat berlandaskan upaya preventif kepolisian untuk mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap keamanan dan keselamatan orang asing,” ujar Sandi.

Dalam peraturan itu disebutkan juga kalau penertiban surat keterangan kepolisian ini dikeluarkan oleh bidang pelayanan masyarakat Baintelkam Polri dan seksi pelayanan administrasi Direktorat Intelijen Keamanan Kepolisian Daerah. Caranya dengan mendaftar secara elektronik melalui laman resmi Polri.

Eka Yudha Saputra, Andi Adam Faturahman, dan Alif Ilham Fajriadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |