Eks Direktur KPK Sujanarko Heran Dipecat KPK 4 Tahun Lalu Tapi Raih Satyalencana Wirakarya

1 day ago 8

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menuai sorotan pada 2021 lantaran melaksanakan tes wawasan kebangsaan atau TWK dalam rangka peralihan status kepegawaian menjadi aparatur sipil negara atau ASN. Padahal, berdasarkan aturan, semua pegawai KPK telah berstatus ASN sehingga peralihan status tersebut tidak perlu dilakukan prosedur TWK.

Kemudian dari pelaksanaan TWK ini adalah dilantiknya 1.271 pegawai KPK menjadi ASN bertepatan pada hari kelahiran Pancasila pada 1 Juni 2021. Di sisi lain, TWK juga berakibat pada dipecatnya 57 dari 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus. Salah seorang korban TWK ini adalah Sujanarko, saat itu menjabat Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada Tempo lewat aplikasi perpesanan pada Ahad, 1 Juni 2025, Sujanarko mengaku masih merasa heran atas pemecatan dirinya via TWK tersebut. Eks Direktur KPK ini bercerita, pada 2015 dirinya mendapat piagam Satyalencana Wirakarya dari Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi. Penghargaan itu sebagai tanda bahwa dirinya berjasa terhadap negara.

Lucunya, enam tahun setelah menerima anugerah, pada 2021 Sujanarko justru dinyatakan sebagai orang yang tidak berwawasan kebangsaan oleh birokrasi KPK. Lembaga di bawah presiden itu menyatakan bahwa Direktur PJKAKI sejak 2004 itu tak lolos TWK. KPK juga menyebut para pegawai yang tak lolos tidak sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.

“Saya sendiri mengalami 4 tahun lalu, bagaimana bisa tahun 2015 dapat piagam dari presiden berupa Satyalencana Wirakarya, karena dianggap warga negara yang berjasa terhadap nusa dan bangsa, 6 tahun kemudian oleh birokrasi dinyatakan orang yang tidak berwawasan kebangsaan hanya melalui TWK,” kata dia.

Dalam laporan Koran Tempo edisi Kamis 27 Mei 2021, KPK dan Badan Kepegawaian Nasioanl atau BKN memang pernah menyatakan 75 pegawai KPK tak lolos TWK dianggap tak sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Bahkan Wakil Ketua KPK saat itu, Alexander Marwata mengatakan ada sekitar 51 pegawai yang dianggap merah dan disebut tidak bisa dibina lagi.

“Kami sangat memahami bahwa pegawai KPK harus berkualitas karena itu KPK terus berusaha membangun sumber daya manusia tidak hanya aspek kemampuan. Tetapi juga aspek kecintaan kepada tanah air, bela negara, kesetiaan kepada Pancasila, UUD, NKRI, dan pemerintah yang sah dan bebas dari radikalisme dan organisasi terlarang,” kata Alex di Kantor BKN pada 25 Mei 2021.

Kala itu, menanggapi cap pegawai tak sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, Sujanarko menolak putusan itu hanya karena gagal dalam TWK yang dilakukan dua jam. Menurut dia, KPK dan BKN terkesan terburu-buru dengan hasil tes dan memberikan cap tertentu yang bisa merugikan pegawai.

“Ini sama saja dengan fitnah, karena tools atau parameter tes tidak memadai tapi dibuat seakan-akan valid,” ujarnya empat tahun lalu.

Sujanarko menyebut tes tersebut tergolong tes psikometri dengan tingkat kebenaran 40-60 persen jika dilakukan dengan metode yang bagus dan pertanyaan berkualitas. Saat tes, kata dia, para pegawai mendapat pertanyaan yang tidak relevan dengan tugasnya di KPK. Bahkan, sejumlah pegawai menilai pernyataan dianggap rasis hingga bernada pelecehan.

“Kerugian ini bisa sampai ke anak-cucu. Kalau tidak dilawan, kami bisa mendapat stigma seperti korban peristiwa Tanjung Priok atau peristiwa 1965,” ujarnya.

Dalam rangka refleksi di hari kelahiran Pancasila, Sujanarko kini mempertanyakan makna sesungguhnya dari peringatan 1 Juni. Menurut dia, nilai Pancasila sepertinya hanya diperuntukkan bagi rakyat kalangan bawah. Sementara para elit, kata dia, malah abai dan terkesan miskin etika. Para pemimpin disebutnya tidak faham berperilaku etis karena ada yang salah pada sikap dan nilai mereka.

Sujanarko mengatakan, para birokrat sudah waktunya berhenti mengajari masyarakat bagaimana berpancasila yang baik. Menurut dia, publik sudah lebih paham ihwal berperilaku etis, yang mereka butuhkan contoh perilaku. Mereka, kata dia, tidak butuh teori yang berbusa-busa yang membuat masyarakat semakin bingung. Apalagi para pejabat yang katanya pandai berpancasila ternyata korupsi juga.

“Bukankah kalau kita sudah berpancasila dengan baik tidak ada lagi aksi Kamisan di seberang istana selama 18 tahun tanpa henti, tidak begitu berisiknya menyikapi dan menyelesaikan tuduhan ijazah palsu mantan Presiden RI ke-7, tidak juga korupsi justru semakin menggila dengan kerugiannya bahkan sampai ratusan triliun yang dituduhkan jaksa, narkoba yang diungkap BNN pun bisa sampai 2 ton,” katanya

S. Dian Andryanto, M. Rosseno Aji, dan Maya Ayu Puspitasari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |