Ekonom: Hati-hati Dampak Deflasi

1 day ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky, membeberkan sejumlah dampak deflasi yang sedang terjadi di Indonesia. Menurut dia, deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir bukan sekadar gejala ekonomi, melainkan tanda melemahnya pondasi ekonomi nasional.

"Deflasi yang berkepanjangan memberi sinyal buruk bagi konsumsi rumah tangga. Ini memperlihatkan bahwa publik menahan belanja karena tekanan ekonomi yang dirasakan," kata Awalil saat dihubungi, Selasa, 3 Juni 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menjelaskan tren penurunan harga yang terjadi secara berulang dalam kurun satu hingga dua tahun terakhir menjadi indikator serius dari melemahnya daya beli masyarakat. Lebih jauh, ia menilai bahwa deflasi berkepanjangan menciptakan ketidakpastian di sektor usaha. 

Menurut Rizki, pengusaha akan cenderung mengurangi kapasitas produksi demi menekan risiko kerugian. Akibatnya, margin keuntungan menyusut dan langkah penghematan pun kerap berujung pada pengurangan tenaga kerja.

“Ketika lapangan kerja menyempit, daya beli masyarakat kembali terpukul. Ini bisa menciptakan lingkaran pelemahan ekonomi yang terus berulang,” ujarnya.

Rizky mengatakan kondisi ini tidak terjadi tiba-tiba. Pemulihan ekonomi Indonesia pasca-pandemi Covid-19, kata dia, belum sepenuhnya terjadi. Dia juga menyinggung kondisi perekonomian saat ini tak lepas dari sejumlah kebijakan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. 

Dia menilai banyak kebijakan ekonomi di era Jokowi merupakan proyek mercusuar yang belum berdampak terhadap penciptaan pekerjaan dan peningkatan pendapatan masyarakat dalam jangka menengah.

Setelah pandemi, lanjut Rizky, arah kebijakan pun masih belum sepenuhnya difokuskan pada penguatan konsumsi domestik. Ia mencatat menyusutnya jumlah masyarakat kelas menengah menjadi bukti nyata dari lemahnya pertumbuhan pendapatan rakyat.

Rizky menambahkan, arah kebijakan Presiden Prabowo tidak akan berdampak terhadap perbaikan perekonomian. Pasalnya, kata dia, pemerintah cenderung berfokus pada pemenuhan janji kampanye dan program populis yang berpotensi memperparah kondisi. 

"Kebijakan yang digulirkan sejauh ini belum mampu memberi dorongan berarti bagi perekonomian, terutama dalam hal mengangkat daya beli masyarakat," ujarnya.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi deflasi sebesar 0,37 persen pada Mei 2025 jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya (month to month/mtm). “Mei 2025 terjadi deflasi sebesar 0,37 persen secara bulanan,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, Pudji Ismartini, di kantor BPS, Jakarta Pusat, Senin, 2 Juni 2025.

Pudji menjelaskan, deflasi ini menyebabkan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun menjadi 108,07. Secara tahunan (year on year/yoy), inflasi tercatat sebesar 1,66 persen, menurun dibandingkan inflasi April 2025 yang mencapai 1,60 persen.

Dia mengatakan kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang terbesar deflasi bulanan, yakni sebesar 1,40 persen, dengan andil deflasi 0,41 persen. Komoditas utama yang menekan harga adalah cabai merah dan cabai rawit, masing-masing menyumbang deflasi 0,12 persen.

Pudji menambahkan, deflasi Mei 2025 terutama dipicu oleh turunnya harga komoditas dalam kelompok harga bergejolak. Kelompok ini mencatat deflasi 2,48 persen dan menyumbang andil terbesar sebesar 0,41 persen. Komoditas utama yang menyebabkan penurunan harga adalah cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan bawang putih.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |