CANTIKA.COM, Jakarta - Sebuah studi berskala besar yang baru saja diterbitkan dalam jurnal JAMA Network Open mengungkap temuan mengejutkan bahwa orang dewasa yang didiagnosis dengan Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) memiliki risiko hampir tiga kali lipat lebih tinggi untuk mengembangkan demensia dibandingkan mereka yang tidak memiliki kondisi tersebut.
Penelitian yang melibatkan lebih dari 100.000 orang ini berlangsung selama lebih dari 17 tahun. Temuan ini menjadi perhatian penting di tengah meningkatnya jumlah kasus demensia di seluruh dunia, khususnya pada kelompok usia lanjut.
ADHD selama ini lebih dikenal sebagai gangguan perkembangan saraf pada anak-anak, namun banyak orang dewasa ternyata tetap mengalami gejalanya hingga usia lanjut. Gejala ADHD pada orang dewasa bisa berbeda dari anak-anak, seperti kesulitan berkonsentrasi, mudah lupa, dan impulsivitas. Meski begitu, kondisi ini sering tidak terdiagnosis, terutama pada lansia.
Sementara itu, demensia merupakan sindrom penurunan fungsi kognitif yang biasanya menyerang lansia, termasuk penyakit Alzheimer sebagai bentuk paling umum. Di Amerika Serikat saja, lebih dari 6,5 juta orang berusia 65 tahun ke atas hidup dengan demensia pada 2022, dan jumlah ini diperkirakan akan berlipat ganda pada tahun 2060.
Studi terbaru ini menunjukkan bahwa ada kaitan erat antara ADHD dan peningkatan risiko demensia. Hal ini menjadi perhatian serius karena kedua kondisi ini sama-sama melibatkan gangguan pada fungsi kognitif seperti memori dan perhatian.
Penelitian dilakukan oleh para ilmuwan dari Universitas Haifa, Rutgers University, dan Icahn School of Medicine at Mount Sinai. Mereka menggunakan database kesehatan nasional dari Meuhedet Healthcare Services di Israel—salah satu organisasi layanan kesehatan nirlaba terbesar di negara tersebut.
Penelitian mencakup 109.218 peserta yang lahir antara 1933 hingga 1952. Pada awal studi, tidak ada dari mereka yang memiliki diagnosis ADHD atau demensia. Mereka dipantau sejak tahun 2003 hingga 2020, atau hingga peserta meninggal dunia, keluar dari sistem layanan kesehatan, atau terdiagnosis demensia.
Hasilnya, sebanyak 730 orang terdiagnosis ADHD di usia dewasa, dan 7.726 orang mengalami demensia. Dari kelompok dengan ADHD, 13,2% mengalami demensia, jauh lebih tinggi dibandingkan 7% pada mereka yang tidak memiliki ADHD.
Setelah mempertimbangkan faktor usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kondisi kesehatan seperti diabetes, depresi, obesitas, dan lain-lain, para peneliti menemukan bahwa ADHD dikaitkan dengan risiko demensia yang 2,77 kali lebih tinggi.
Salah satu temuan menarik adalah bahwa penggunaan obat psiko-stimulan, seperti yang umum digunakan untuk menangani ADHD, tidak secara jelas meningkatkan risiko demensia. Bahkan, para peneliti menduga bahwa pengobatan bisa saja memberikan efek perlindungan terhadap penurunan fungsi otak. Namun, karena hanya sekitar 20% peserta dengan ADHD dalam studi ini yang menggunakan obat, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan hal tersebut.
Studi ini juga mengeksplorasi kemungkinan bahwa gejala awal demensia disalahartikan sebagai ADHD. Namun, analisis waktu diagnosis menunjukkan bahwa hal ini tidak sepenuhnya menjelaskan hubungan yang ditemukan.
Para peneliti juga menyoroti kemungkinan bahwa ADHD menyebabkan perilaku tidak sehat, seperti kurang olahraga, kebiasaan merokok, atau depresi, yang pada gilirannya meningkatkan risiko demensia. Meskipun faktor-faktor tersebut telah diperhitungkan dalam studi, kemungkinan adanya variabel lain yang belum diukur tetap terbuka.
Penelitian ini memperkuat pentingnya memperhatikan gejala ADHD pada orang dewasa, khususnya lansia. Meskipun ADHD sering dianggap sebagai gangguan masa kecil, dampaknya bisa berlanjut hingga usia tua dan berkontribusi terhadap risiko penyakit neurodegeneratif seperti demensia.
Mengingat belum adanya obat untuk demensia, mengidentifikasi faktor risiko seperti ADHD dapat membuka peluang pencegahan dini. Penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk memastikan apakah pengobatan ADHD pada usia dewasa dapat menurunkan risiko demensia di masa depan.
Pilihan Editor: Kenapa Perempuan Lebih Sulit Didiagnosis ADHD Daripada Laki-laki?
PSYPOST.ORG
Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika