YLKI: Perokok Habiskan 11 Persen Anggaran untuk Rokok

1 day ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Komnas Pengendalian Tembakau dan Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menyatakan, rata-rata alokasi pembelian rokok di kota dan desa mencapai 10–11 persen dari total pengeluaran. “Anggaran untuk beli rokok jauh lebih tinggi dari pembelian lauk-pauk, yang hanya 3,5 persen saja,” kata Tulus dalam keterangan tertulis, Sabtu, 31 Mei 2025. 

Tulus menyatakan perilaku konsumsi rokok tidak bisa dipisahkan dengan kemiskinan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kata Tulus tingginya pola konsumsi merokok mengakibatkan prevalensi kemiskinan di Indonesia sebesar 8,57 persen atau 24,7 juta jiwa pada 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut parameter kemiskinan World Bank, lebih dari 60 persen masyarakat Indonesia adalah kelompok miskin karena pengeluaran hariannya kurang dari Rp 115.00. Kendati demikian, pembelian rokok justru mencapai 11 persen dari total pengeluaran. “Suatu kajian juga mengindikasikan dengan kuat bahwa biaya ekonomi merokok mencapai Rp 410,75 triliun atau sekitar 2,59 persen dari PDB,” kata Tulus. 

Tulus mengatakan tingginya konsumsi rokok masyarakat Indonesia juga disebabkan oleh regulasi pengendalian tembakau yang sangat lemah dan sengaja dilemahkan. Hal itu karena Indonesia tidak meratifikasi perjanjian internasional Framework Convention on Tobacco Control. Padahal sudah lebih dari 90 persen negara yang sudah meratifikasi. 

Kendati memiliki regulasi di tingkat nasional berupa Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan soal pengendalian konsumsi tembakau, Tulus menyayangkan peraturan itu justru mangkrak. “Interferensi industri rokok untuk melemahkan upaya implementasi PP 28/2024 ditengarai sangat kuat,” kata dia. 

Sebagai upaya mitigasi, Tulus mendesak pemerintah menaikkan cukai rokok secara signifikan. Juga dibarengi dengan reformasi sistem cukai menjadi kebijakan yang sangat mendesak. Tulus menyatakan kenaikan tarif cukai kerap tidak berdampak pada sisi pengendalian, sebab, sistemnya dinilai sangat menguntungkan industri rokok sehingga membuat harganya lebih murah yang memicu fenomena down trading. “Marak pula fenomena rokok ilegal, yakni rokok tanpa cukai atau pun rokok bercukai tapi palsu,” ujar dia.

Ia meminta agar pemerintah termasuk pemerintah daerah konsisten melakukan penegakkan hukum terhadap rokok ilegal, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2024 tentang Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, yang bisa mengalokasikan dana untuk penegakan hukum sebesar 10 persen.

Tulus mengatakan mustahil bagi pemerintah untuk mencapai target bonus demografi pada 2030 dan generasi emas pada 2045 jika Indonesia masih darurat konsumsi rokok. “Harus ada langkah radikal untuk memitigasi agar bencana yang berkarakter human made disaster ini, yang dipicu oleh tingginya prevalensi konsumsi rokok, tidak semakin eskalatif,” kata dia. 

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |