SAAT Kamasi Washington memainkan saksofon tenor dengan irama yang lembut, berbagai pasang mata penonton yang masing-masing duduk di kursi berwarna merah itu tertuju pada komposer Jazz asal Los Angeles, California, Amerikat Serikat. Mengenakan pakaian African Dashiki dengan padu warna oranye-hijau, musisi berusia 44 tahun itu kerap membuat penonton BNI Java Jazz Festival 2025 bertepuk tangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu malam di Hall D Jiexpo Kemayoran, Jakarta Utara pada Minggu, 1 Juni 2025, Washington memainkan musik jazz berdurasi 10-15 menit miliknya dengan penuh improvisasi. Ada warna bunyi yang ceria dibalut alunan musik hip-hop dan P-funk yang dimainkan oleh anggota bandnya.
Nomor-nomor dari album barunya berjudul Lazarus turut dibawakan seperti “Lie in Memory”. Beberapa kali dirinya seolah menunjukkan kepada penonton sekaligus mempersilakan anggota bandnya menunjukkan kebolehan dalam bermusik.
Bernama lengkap Kamasi Tii Washington yang lahir di Los Angeles, 18 Februari 1981 silam, komposer ini mulai bermain musik sejak dalam rumah di usia tiga tahun. Saat berkuliah di jurusan Etnomusikologi di University of California (UCLA), Washington mulai aktif secara serius menempuh karier jazz.
Bersama teman-teman sefakultasnya di antaranya Kenny Burrell, Gerald Wilson, hingga Billy Higgins, mereka merilis album perdana bertajuk Young Jazz Giants pada 2004. Sekitar 21 tahun dari situ, Washington turun dari satu panggung di Jakarta untuk pertama kalinya dengan tongkatnya setelah satu jam memanjakan kuping penonton atas nama sendiri sebagai musisi.
Sekitar setengah jam setelah menyelesaikan aksi panggungnya, Washington mempersilakan Tempo untuk sesi wawancara. Kami berbicara awal kariernya bermusik jazz hingga perasaan senangnya diajak bekerjasama oleh sutradara anime asal Jepang, Shinichiro Watanabe.
Bagaimana perasaan Anda setelah tampil di Java Jazz tahun ini?
Ini pertama kalinya saya bermain dengan musik saya sendiri atas nama saya sendiri. Tapi saya pernah bermain di sini sekali dengan Harvey Mason, dan saya pernah bermain di sini sekali dengan Chaka Khan. Itu selalu merupakan festival yang indah. Saya menyukainya. Selalu ada energi yang baik. Orang-orangnya, mereka sangat mencintai musik dan mereka membuat para musisi merasakannya. Jadi, selalu menyenangkan untuk bermain di sini.
Bagaimana awalnya kamu memutuskan memainkan musik jazz dan instrumental?
Ayah saya seorang musisi, jadi saya mulai bermain musik sejak kecil. Saya mulai bermain drum saat berusia tiga tahun, lalu beralih ke piano, lalu beralih ke klarinet. Dan saat berusia sekitar 11 tahun, saya beralih ke saksofon. Saya beralih ke saksofon karena saya sudah mendengarkan jazz. Dan saat saya memainkan klarinet, kedengarannya agak kurang. Saya sangat menyukai pemain saksofon bernama Wayne Shorter, dan kedengarannya tidak seperti Wayne Shorter ketika memainkan klarinet, hahaha. Jadi saat saya beralih ke saksofon, saya merasa agak mirip.
Dan itu berlanjut saat Anda kuliah di bidang musik?
Ya, saya kuliah di University of California (UCLA). Saya mengambil jurusan etnomusikologi, khususnya studi tentang musik dari pelbagai belahan dunia.
Bagaimana pengaruh lingkungan Anda menyoal Jazz? Saya dengar Los Angeles salah satu kota yang masif dengan musik Jazz?
Iya. Saya tumbuh bersama banyak musisi Jazz, salah satunya Thundercat (musisi dan komposer Jazz). Saya mengenalnya sejak kami masih bayi. Saya dan saudaranya, Ronald Drew Bruner Jr., kami mulai bermain bersama saat kami masih kecil, sekitar tujuh-delapan tahun. Kemudian semua orang yang saat ini di atas panggung Jazz, rata-rata kami sudah saling kenal sejak kami masih anak-anak.
Jadi kalian memang tumbuh di skena yang sama?
Kami semua tumbuh di skena yang sama, dan kami acap kali berlatih bersama dan belajar dari satu sama lain.
Anda telah merilis 5 album penuh. Apakah ada kendala yang umumnya dijumpai saat penggarapan?
Ya, sulit untuk menyelesaikan sebuah album, Anda tahu? Sering kali yang terjadi adalah Anda mengerjakannya, dan sulit untuk melepaskannya. Itu mungkin bagian tersulit, memutuskan bahwa album itu sudah selesai atau belum.
Bagaimana dengan proses kreatifnya?
Proses kreatifnya seperti ide lagu datang begitu kepada saya, seperti pohon. Anda menanam pohon, dan membiarkannya tumbuh. Jadi saya akan mendapatkan benih ide, dan benih berubah menjadi lagu. Terkadang itu ritme, terkadang ide, terkadang itu kuncinya, atau secuil melodi, atau bassline, atau bahkan beberapa kata, seperti lirik. Semua hal itu bisa menjadi benih yang berubah menjadi lagu.
Terakhir Anda merilis album penuh untuk serial anime Adult Swim berjudul Lazarus karya Shinichiro Watanabe. Bisa diceritakan prosesnya hingga itu terjadi?
Ya, jadi Shinichiro Watanabe adalah salah satu sutradara favorit saya. Saya sudah menjadi penggemarnya sejak saya berusia 16 tahun. Dan seorang teman saya, dia membawakan salinan Macross Plus (1995), dan begitulah saya mulai menyukai karyanya. Lalu saya mulai menyukai Cowboy Bebop (1998) dan Samurai Champloo (2004), dan semua karya menakjubkan yang dia buat.
Jadi suatu hari manajer saya menelepon saya, dan dia berkata, “Hai, ada sutradara anime yang ingin Anda bekerja pada proyek yang sedang dia garap.” Saya seperti, oh, siapa dia? Dan dia berkata, “Watanabe”. Dan respons saya tentu tak menyangka dan terkejut sekali. Itu kehormatan besar bagi saya. Itu sangat menyenangkan. Sungguh luar biasa bisa bekerja dengannya